Sabtu, 27 Agustus 2011

NASKAH MERTASINGA - DATUK PARDUN MURID SYEKH LEMABANG

PEMBANGKANGAN DATUK PARDUN MURID SYEKH LEMABANG
(pupuh LXIV.03 - LXIV.12).

Di negara Banakeling, murid Syekh Lemabang yang bernama Datuk Pardun memendam rasa sakit hati dan bermaksud akan mengganggu raja Carbon. Dia memiliki hubungan yang erat dengan para mahluk halus. Keinginan Datuk Pardun untuk membalas dendam itu karena gurunya Syekh Lemabang telah dibunuh oleh orang Carbon. Suatu ketika Panembahan Ratu bermaksud akan mengunjungi Astana (makam). Saat itu Panembahan masih berada di belakang barisan upacara. Dikisahkan ketika kepala iring-iringan upacara sudah sampai di Waringin Jembrak, saat itu Panembahan Ratu masih belum keluar dari keratonnya.
Datuk Pardun berdiri menghadang di tengah jalan dengan bertolak pinggang. Melihat ada orang sakti yang menghadang demikian, maka gempar rombongan itu. Panembahan Ratu menanyakan sebab musabab dari keributan itu. Salah seorang pengawalnya menjawab, "Ada orang yang bertolak pinggang menghalangi perjalanan tuan, walaupun disuruh minggir akan tetapi dia tidak mau dan tetap berdiri di tengah jalan seperti patung besi". Panembahan Ratu segera mengulurkan kerisnya kepada lurahnya. Dengan keris yang berkerangka emas itu Datuk Pardun lalu dilawan sampai akhirnya dia mati ditusuk keris itu. Akan tetapi Datuk Pardun mati dengan badan masih tetap berdiri, hal mana cukup menggemparkan yang ada karena dia nyata-nyata sudah mati. Kiyai Lebe Yusup diserahi tugas untuk menguburkannya, sedangkan Panembahan Aji kemudian meneruskan perjalanannya.
Mayat itu kemudian dikuburkan di sebelah timur jalan, akan tetapi tak lama kemudian mayat itu muncul dan berdiri lagi di tengah jalan, layaknya seperti hantu di siang hari bolong. Dikuburkan lagi, tetapi dia berdiri lagi sambil bertolak pinggang, demikian berlangsung berulang-ulang. Ki Lebe berpikir, "Kita ini seperti mengubur setan saja badan sudah lelah akan tetapi tak ada hasilnya". Mayat itu masih berdiri di jalanan, maka Lebe Yusup segera menyusul tuannya dan memberitahukan mengenai tingkah laku mayat yang seperti siluman itu. Berkata Panembahan Ratu, "Kuburkan saja mayat itu di tengah jalan. Maka mayat itu pun segera dikuburkan sesuai dengan petunjuk Panembahan Ratu..
Lama kelamaan Panembahan Aji berkeinginan untuk setiap Jum'at hadir di Mesjid Agung, seperti kebiasaan dahulu pada waktu jamannya Sinuhun Jati. Pada waktu merayakan Hari Raya Ramadhan Panembahan Ratu melakukan shalat di Mesjid  Agung, sedangkan pada waktu Hari Raya Haji shalatnya dilakukan di Mesjid Astana. Mesjid Astana ini adalah wakaf dari Ratu Krawang dan yang mengurus Mesjid Astana ini bernama Penghulu Krawang.

CATATAN:
Menurut Purwaka Carbon Nagari (hal.280), peristiwa ini terjadi pada tahun 1571, dan sumber lain mengatakan bahwa dia adalah anak dari Syekh Lemabang. Sekarang di depan Pasar Kramat (Gang Kramat, Jl. Siliwangi) terdapat sebuah batu berbentuk Lingga yang konon merupakan peringatan tempat terjadinya peristiwa tersebut.

Jumat, 19 Agustus 2011

NASKAH MERTASINGA - KEHADIRAN BENTENG BELANDA DI CARBON

Dalam kisah berdirinya Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman telah diceriterakan mengenai mulai dihancurkannya kutha Carbon yang dibangun oleh Sunan Demak II (Pangeran Trenggana) pada masa Sunan Gunung Jati dan mulai dibangunnya benteng “De Bescherming” di pinggir pantai. Dengan demikian hilanglah tembok pusaka dan diganti dengan munculnya benteng Belanda yang menjaga Sultan Carbon. Mengenai hal ini dikisahkan juga dalam  bab “Kisah Pangeran Kusumajaya” (pupuh LXXIX.01 – LXXIX.18) sebagai berikut:

Diceritakan ada salah seorang saudara Sultan yang lahir dari selir, yang bernama Pangeran Kusumajaya. Dia memperdalam ilmu sufi, demikian khusuknya sehingga melupakan anak istri dan rumah tangganya. Pangeran Kusumajaya bertapa dengan amat taat sehingga membuat segala kehendaknya terkabul, segala keinginannya dikabulkan oleh Yang Agung. Dia bisa terbang di angkasa dan bisa masuk ke dalam bumi, dia juga bisa merubah dirinya menjadi wujud lain. Jika melakukan  perjalanan dia akan sampai dalam sekejap. Sudah tak terhitung lagi banyak ilmunya. Kesenangannya disamping memperdalam ilmu sufi ialah menonton wayang yang dilakonkan oleh dalang yang pandai.
Begitulah pada suatu ketika dia berjalan-jalan di pinggir laut dan kemudian memasuki kota dimana dia berjumpa dengan kedua Sultan yang sedang melihat-lihat benteng yang dibangun Belanda. Pangeran Kusumajaya berkata kepada kedua adiknya, "He adikku, ini semua untuk apa. Ini hanya akan membuat lengah adinda saja". Ketika berkata demikian dengan mencemooh dia menggoyang-goyangkan tembok benteng yang dibangun Belanda itu. Benteng itu seperti akan rubuh, bergoyang-goyang, sepertinya memberi peringatan kepada kedua adiknya yang telah menjadi sombong karena bergaul dengan Belanda itu. "Adinda mengapa menjadi sombong begini dengan membuat benteng dan memasang meriam".
Kedua Sultan berkata, "Kakanda janganlah begitu, benteng ini lumayan untuk menakuti-nakuti orang bodoh. Adapun kakanda Kusuma, bilamana kakanda tidak berkenan melihat ini semua, sebaiknya ya jangan ikut-ikut. Kakanda menyingkirlah saja ke tempat yang jauh dahulu". Pangeran Kusuma mengikuti usul adiknya itu dan kemudian menyingkir ke tempat yang sepi. Dia tidur di Kajuwanan, akan tetapi dikisahkan bahwa rohnya berubah menjadi Raja Topeng Baladewa yang berkuasa di pantai selatan, di Bumi Cidamar. Dia berkuasa di sana dengan nama Sunan Perwata. Bala tentaranya berdatangan sendiri dan tinggal di daerah Cidamar itu”…, dst.

Mengenai benteng ini sumber lain ditulis oleh Dr. H.J. De Graff dalam bukunya:  
“Setelah selesainya perang Trunajaya pada tahun 1679 dan ditumpasnya pemberontakan Panembahan Giri pada 1680 serta laskar Makasar pada 1682, maka sebagai imbalan Kompeni memiliki sederetan loji di sepanjang pantai utara kerajaan Mataram yang umumnya diperkuat dengan benteng untuk menangkis serangan bumiputra. Diantaranya di Carbon pada tahun 1686 dibangun sebuah benteng bernama De Bescherming (Perlindungan) untuk melindungi kepentigan Kompeni disana. Benteng ini berfungsi juga sebagai tempat tinggal bagi orang-orang Belanda yang ada di Carbon hingga tahun 1835, saat mana benteng tersebut terbakar” (Graff,1989:7).

Berikut adalah catatan J.J.Stockdale dalam bukunya “Island of Java” mengenai benteng ini:
"On the right bank of the river, and on the sea-side, is a small brick fort, surrounded by a fosse, over which is a bridge with a redoubt. The fort is of little consequence; its embrasure parapet is but eighteen inches thick. It is defended by four bad small guns, which serve rather to secure the Dutch flag and answer the salutes of the ships which pass or come in, than as a defense against an enemy, who might choose to take possession of it and establish himself there" (Stockdale,1995:404).
Selanjutnya dalam sumber yang sama juga ditulis: "On the part of the company, as much care is taken as possible to prevent the contravention of these conditions; and they have a resident here with a garrison of 20 Europeans, station in small fort in the district of Cheribon, whilst there is also an out-post stationed at Indramayu. These empire put itself under the protection of the company in the year 1680. In criminal maters the administrative is under combined authority of the two princesses and the company's resident. In 1776-1777 the establishment of Cheribon consist of 98 European, namely: 14 civil servants, 1 clergyman, 3 surgeons, 2 artillerymen, 15 seamen, 60 soldiers and 3 mechanics" (Stockdale,1995:224-226).

Bekas Benteng tersebut sekarang berada di Jalan Benteng dan dipergunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan (di samping kantor Pelabuhan Cirebon).

Selasa, 16 Agustus 2011

NASKAH MERTASINGA - BERDIRINYA KESULTANAN KASEPUHAN DAN KANOMAN

(Dalam bab sebelumnya dikisahkan mengenai Panembahan Girilaya yang wafat dengan meninggalkan  kedua putranya yang masih berada di Mataram).

SULTAN BANTEN MENGAMBIL ANAK PANEMBAHAN DARI MATARAM
(pupuh LXXVII.09 - LXXVII.17)
Pada waktu itu di Mataram terjadi keributan karena terjadinya pemberontakan oleh Trunajaya, yang ingin menjatuhkan kekuasaan Mataram. Adapun anak Carbon itu pun kemudian keduanya terbuang. Hal mana terjadi karena kepanikan terjadi di mana-mana. Keadaan pada waktu itu bagaikan gabah yang tengah ditampi. Kedua anak itu terbuang ke Kediri sampai berbelas tahun lamanya .
Selama bertahun-tahun keadaan di Carbon kelam, dan tidak ada yang menggantikan menjadi Panembahan. Panembahan Girilaya wafat pada babad jaman 1584 (1658 M.). Selama 16 tahun lamanya tidak ada yang ingat kepada kedua anak Panembahan itu, hingga kemudian pada suatu ketika Sultan Banten teringat kepada anaknya Mas Carbon yang terbuang di negara Mataram itu.
Sultan Banten segera mengirim utusan untuk menjemput anaknya Mas Carbon yang hilang di daerah timur itu. Sang utusan, Tubagus, yang diperintahkan menjemput kedua anak itu, diperintahkan   untuk minta maaf kepada raja Mataram. Diceritakan utusan itu telah tiba di hadapan Sunan Mataram. Tubagus berkata kepada Sinuhun, "Hamba diutus oleh tuan hamba Sultan Banten, yang mohon kerelaan Paduka Raja untuk memaafkan kedua anak Carbon. Keduanya akan hamba bawa ke Banten. Tuan hamba amat sangat memohon kedua anak itu". Sunan Mataram terkesan mendengar tutur kata utusan dari  Banten itu, maka Sunan Mataram pun menjawab, "Silahkan, carilah sendiri". Utusan itu pun segera mencari ke segala pelosok hingga akhirnya kedua anak itu ditemukan di Kediri, dimana keduanya berada selama berbelas tahun. Keduanya segera dibawa ke Banten. Melihat kedua anak itu Sultan Banten amat senang hatinya, dia bersyukur telah diizinkan oleh Yang Maha Esa untuk bertemu lagi dengan kedua anak yang dikasihinya itu.

BERDIRINYA KESULTANAN KASEPUHAN DAN KANOMAN  
(pupuh LXXVII.17 - LXXVIII.22)
Begitulah Sultan Banten kemudian bermaksud untuk bermusyawarah dengan sahabatnya yang bernama Morgel Jaketra itu. Dia ingin mengangkat kedua anak itu menjadi raja di negeri Pakungwati. Sang Morgel menyetujui gagasan tersebut. Dahulu Sultan Banten berani mengangkat dirinya menjadi Sultan karena telah mendapat ijin dari Sultan Mekah Khairal Mulia, dan juga mendapat ijin dari Mesir serta memperoleh pusaka  pakaian Nabi Ibrahim. Oleh karena itulah maka Banten pun sekarang berani untuk mengangkat raja. Begitulah kedua anak itu dinobatkan menjadi raja Pakungwati dan lalu diijinkan kembali ke Carbon. Kepulangannya diiringi oleh tiga orang Belanda dari Betawi yang bernama Kapten Karang, Raja Timah dan Raja Godi. Mereka diperintahkan untuk menjaga kedua Sultan itu dari gangguan Mataram.
Setibanya di Carbon, keduanya disambut dan dimuliakan rakyat dan kemudian diangkat menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Di Pakungwati, mulai adanya Sultan itu ialah pada babad jaman 1600 (1678 M.). Saat itulah mulai adanya orang Belanda di Carbon yang bernama Kapten Karang yang tugasnya  menjaga keberadaan raja. Sejak itu di Carbon mulai berdiri dua negara yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Sultan Anom, kratonnya baru yaitu Kraton Kanoman, didirikan sendiri agar supaya dapat diwariskan kepada anak cucunya kelak. Jadi di Carbon pada waktu itu ada dua Kraton di dalam satu daerah. Akan tetapi walaupun ada dua penguasa, tetap mempunyai satu hukum. Pada waktu itu mulai dikenal ada hukum sareat dan Jum'atnya pun juga sareat. Di Masjid Pakungwati hanya ada satu Penghulu yang tinggal di Kasepuhan, karena raja utamanya berada di Pakungwati. Adapun di Kanoman penghulunya bernama Khotib Kapil yang bertugas pada waktu sholat Jumat atau pada waktu Riyadi (Hari Raya Ied). Begitu juga gamelan Sokati dibunyikan setiap Mulud dan Riyaya, sehingga sepertinya ada dua, tetapi sebetulnya hanya satu yaitu yang ada di Pakungwati .

KEHADIRAN ORANG ASING DI CIREBON
Di Kasepuhan ada pendatang baru yang bernama Arya Nadin, dia datang mengabdi ke Pakungwati yang berasal dari negara Palekat. Pada waktu itu para bangsawan di Carbon belum ada yang bisa berbahasa Melayu, oleh karena itu Ki Arya Nadin diberi kedudukan dengan nama Tumenggung Arya Celi. Itulah awalnya bagaimana di negeri Pakungwati ada yang berpangkat Tumenggung. Tugasnya ialah sebagai penghubung dengan Belanda, yaitu dengan Kapten Karang, Raja Goda, Raja Timah dan Petor  Wilis. Keempat Belanda itu semuanya sudah merasa betah tinggal di negara Pakungwati. Saat itu pula mulai dihancurkannya kutha Carbon yaitu ketika mulai dibangun benteng di pinggir pantai. Dengan demikian hilang pula tembok pusaka dan diganti dengan munculnya benteng Belanda yang menjaga Sultan Carbon .
Pada waktu itu mulai bercampur berbagai bangsa. Di Carbon sudah mulai banyak orang Belanda dan orang Cina. Oleh Sultan mereka diizinkan untuk membuat rumah di pinggir kali di sebelah barat Pabean menghadap ke Dalem Puri. Dikemudian hari di Pacinan mereka mendirikan Klenteng, dan juga di dekat syahbandar banyak tinggal orang Cina. Dengan banyaknya macam-macam bangsa itu, Kapten Karang lalu mengangkat Kapten Cina di negeri Pakungwati yang bernama Kapten Burwa. Dia bertugas menjaga Sultan dari segala kemungkinan kerusuhan. Itulah asal mula malang melintangnya orang Belanda di Carbon. Sekarang di Carbon diberlakukan pajak pasar, bea dan cukai. Orang bersawah harus membayar pajak setiap tahun, hanya saja ketika itu belum ada pajak manusia, kecuali di daerah pegunungan yang sejak semula merupakan daerah taklukan, pada waktu itu mereka membayar upeti masih sekehendak hatinya. Seluruh rakyat amat mengasihi sang raja, bilamana tiba waktunya untuk menyerahkan upeti, maka hal tersebut mereka lakukan sesuai dengan keinginan dari hatinya sendiri.

Catatan:
1.       Perang Trunajaya (1674-1679) merupakan perlawanan terhadap raja Mataram IV, Sunan Amangkurat I (1645 - 1677) dan Belanda.
2.       Pangeran Kediri. Dalam pupuh XVII.02 dikisahkan bahwa anak Pangeran Trenggana (Sultan Demak-III) yang sulung bernama Panembahan Madiun. Dia menikah dengan anaknya Pangeran Sebakingkin yang bernama Ratu Mas Ayu yang kemudian diberi kekuasaan di Kediri dan kemudian disebut Pangeran Kediri. Kemungkinan keberadaan kedua anak ini di Kediri adalah karena adanya hubungan kekeluargaan ini. 
3.       Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-V dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 - 1682) pada tanggal 10 Maret 1651. Melihat kurun waktunya, Sultan Ageng inilah yang pada tahun 1678 mengirimkan utusan ke Mataram untuk mengambil kedua anak Panembahan Girilaya yang terlupakan di Mataram selama 16 tahun.
4.       Petor, kepangkatan dalam pemerintahan Belanda yaitu wakil / asisten Residen.

NASKAH MERTASINGA - PANGERAN BANTEN MENOBATKAN DIRI MENJADI SULTAN

PANGERAN BANTEN MENOBATKAN DIRI MENJADI SULTAN 

(pupuh LXX.20 - LXXI.11)
Kita tinggalkan kisah di Pakungwati, dikisahkan lagi keturunan wali dari Banten yang bernama Pangeran Kenari. Sang Pangeran pergi ke tanah Arab untuk naik haji ke Baitullah. Sekembalinya dia mendapat ijin dari Sultan Mekah untuk bertahta sebagai raja di negara Banten, serta diberi pakaian pusakanya Nabi Ibrahim. Setibanya di Banten, Pangeran lalu mengumpulkan sanak keluarganya, para kaum dan para sentana. Kemudian  Pangeran mengangkat dirinya menjadi raja di Banten.
Sultan Mataram mendengar hal tersebut menjadi sangat murka dan tidak dapat menerima pengangkatan tersebut. Di Jawa setiap pengangkatan menjadi Sultan itu harus dengan ijin dari Mataram, kalau tidak maka dia akan diperangi oleh Mataram. Sultan Banten pun sudah bersiap-siap menyambut serbuan Mataram karena Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Kemudian terjadilah peperangan yang lama, berlangsung selama beberapa tahun antara Banten dengan Mataram.
Kemudian ada seseorang yang dapat mendamaikan peperangan ini, dia adalah seorang Belanda yang bernama Kapten Morgel . Dalam perdamaian itu Mataram mau mengakui pengangkatan itu dan sebagai imbalannya Banten harus mengirimkan tugur, pasukan penjaga, ke Mataram setiap tahun. Pasukan ini bergantian datang ke Mataram untuk tugas jaga. Setelah tercapai perdamaian itu ternyata Kapten Morgel meminta upah berupa daerah, upah untuk jasanya yang telah mendamaikan orang perang itu. Dia minta diberi daerah di tanah Betawi. Atas permintaan itu baik Sunan Banten dan Mataram keduanya menyetujuinya. Itulah awal adanya orang Belanda di Betawi yang kemudian mengatur dan mengurus para raja di Jawa .
Masuknya Belanda itu bagaikan racun yang menyusup ke tanah Jawa. Para raja Jawa belum sadar bahwa dalam tubuhnya telah masuk racun itu yang kemudian akan merusaknya. Belanda mencari kesempatan untuk malang melintang dan mengatur raja-raja di Jawa itu merupakan warisan dari leluhurnya. Dahulu Dewi Mandapa, anak raja Pajajaran yang terakhir, yang tak mau masuk agama Islam, anaknya bernama Dewi Tanuran Gagang tinggal di Pulau Inggris. Tanurang Gagang itu bercampur dengan orang kulit putih dan sekarang sudah sampai pada buyutnya, yaitu yang diceritakan bernama Kapten Morgel yang datang minta kedudukan di tanah Jakarta. Dia terikat oleh warisannya yang dahulu, melanjutkan kekuasaan negara Pakuan dan akan mengusik raja-raja Jawa di kemudian hari.
Di Banten mulai ada Sultan yaitu pada babad jaman 1519 (1597 M.), pada waktu itulah awal bertahtanya  keturunan raja wali di Banten. Sultan Agung Kanantun lalu ingin membangun Mesjid Agung. Nama kaumnya yaitu Kyai Abdul Mahmud, Kyai Abdul Al Mapakir dan Abdul Al Kodariyah, mesjidnya dibangun tepat pada babad jaman 1532 (1610 M.), sebuah mesjid yang indah. Adapun awalnya keberadaan orang Belanda di Betawi, yang bernama Kapten Morgel, yaitu pada babad jaman 1530 (1608 M.).
Adapun di Carbon pada waktu itu Panembahan masih berada di bawah pengawasan Mataram. Walaupun demikian sebagai keturunan dari raja wali, dalam hatinya sang Panembahan selalu bersyukur, dan keadaan Carbon pun masih makmur. Pada waktu itu belum ada orang Belanda ataupun orang Cina, tembok kota Carbon masih berdiri dengan kokoh.

CATATAN:
1.      Pangeran Kenari atau Pangeran Kanantun, Sultan Agung Kanantun (1596 – 1651).          
2.      Kapten Morgel. Tokoh ini tidak dikenal dalam sejarah. Nama ini merupakan nama traditional untuk Gubernur-gubernur Jendral Hindia Belanda. Panggilan ini berasal dari kata Kapten Mur, yang asalnya dari bahasa Portugis Capitao Mor, yang berarti panglima tertinggi. Dalam babad ini tokoh Kapten Morgel hadir sejak tahun 1608, yaitu yang dikisahkan menyelesaikan perselisihan antara Banten dengan Mataram sehingga sebagai upahnya dia memperoleh daerah di Jakarta. Tokoh Kapten Morgel ini masih berkuasa sebagai Gubernur Jendral pada masa pemerintahan Sultan Kasepuhan ketika diminta bantuan oleh Pangeran Emas untuk dinobatkan menjadi Sultan Kacarbonan (lihat bab XXXII). Mungkin, diciptakannya tokoh Kapten Morgel ini adalah sebagai panggilan umum untuk penguasa Belanda atau seperti yang dikatakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat, yaitu sebagai "pengesahan" atas penguasaan Belanda atas raja-raja Jawa karena tokoh "Kapten Morgel" itu dimitoskan sebagai keturunannya raja Pajajaran yang menuntut balas.
Kedatangan Belanda dan VOC. Sekitar tahun 1600 kapal dagang Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di  pelabuhan Banten. Dimana kemudian mereka tinggal dari tahun 1596 - 1598. Kemudian  VOC didirikan Belanda dan mengangkat Peter Both sebagai Gubernur Jendral  untuk  Timur Jauh dan Jan  Piterzoon  Coen  sebagai Gubernur Jendral  di Jawa. Pada tahun 1618  dia  datang  ke Jakarta dan menghadap kepada Pangeran Jaketra untuk  memperoleh izin mendirikan gudang dan benteng di Jaketra.
3.      Pagarage. Sejarah Banten memberitakan adanya percobaan Carbon untuk menaklukan Banten yang konon terjadi pada tahun 1650, yang dikenal sebagai Pagarage. Menurut sumber diatas, di Banten datang dua orang utusan dari Carbon yang bertujuan untuk membujuk Sultan Banten supaya bersama Carbon mau menghadap Mataram. Akan tetapi jawaban yang mereka peroleh adalah "Sultan Banten tidak mau mengakui raja manapun diatasnya selain Sultan Mekkah yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah". Selanjutnya sejarah mencatat perang antara Carbon dan Banten pada tanggal 22 Desember 1650, yaitu pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya dimana Carbon mengalami kekalahan. Kemungkinan ketidak berhasilan Carbon untuk membujuk dan kemudian memaksa Banten ini yang menyebabkan turunnya kredibilitas Panembahan Girilaya di mata Amangkurat-I. Disamping itu kemungkinan pertempuran ini pula yang menyebabkan menjadi renggangnya hubungan antara kedua keturunan Sunan Gunung Jati ini, sehingga Banten tidak mengambil tindakan pada waktu Panembahan Girilaya diculik dan dibunuh di Mataram pada tahun 1662, dan baru mengambil tindakan setelah 16 tahun kemudian.

NASKAH MERTASINGA - MESJID AGUNG CIREBON TERBAKAR

MESJID AGUNG CARBON TERBAKAR 

(pupuh LXIX.09 - LXIX.18)
Diceritakan kemudian, ada lagi masalah yang dihadapi Panembahan Ratu. Konon lamanya percobaan-percobaan yang dihadapinya itu selama empat puluh delapan tahun, merupakan percobaannya bagi orang fakir. Mesjid Agung Carbon terbakar, atapnya dimakan api yang datang dari arah selatan. Melihat itu orang kaum gempar semua, mereka datang berebut mengambil air.
Ki Lebe Dul Iman sibuk mendorong-dorong kayu yang terbakar dengan galahnya. Merbot Hamjan bersama Ki Modin menaburkan debu dan mengerahkan orang-orang yang membawa air. Modin Yusup dan para pembantunya menaburkan tanah untuk mematikan api. Lalu berdatangan para Lebe (kepala desa) dari pedesaan, mereka datang untuk membantu memadamkan api. Di tengah kesibukan itu tiba-tiba pataka (puncak masjid)-nya melesat ke atas menembus asap hitam yang membumbung ke angkasa, dan akhirnya jatuh di Banten. Peristiwa ini sebagai isyarat bagi Banten, bahwa bertahtanya Sultan di Banten itu akan tumpas.
Akhirnya api pun dapat dipadamkan, yang terbakar ialah pataka beserta atapnya yang bersusun tiga. Orang Carbon amat susah hatinya, maka kemudian atas kehendak Gusti Pakungwati dikumpulkan para buyut, sesepuh dan semua juru kunci. Tujuan pertemuan itu ialah untuk meminta urun rembuknya atas keinginan Panembahan untuk segera memperbaiki Mesjid Agung itu. Dalam pertemuan itu diusulkan untuk mengganti atap yang terbakar itu dengan atap berbentuk limasan (bentuk atap rumah), jadi tidak dibangun lancip seperti dahulu lagi karena keadaannya sudah berbeda dengan jamannya wali dahulu. Panembahan menyetujui usul itu dan juga bangunannya ditambah dengan emper di sekitarnya sebagai serambinya.
Pintunya ditambah bata mulus yaitu bata putih yang dibentuk indah, dan lagi di tempat imam dibentuk bunga Tanjung diatas telaga beserta bentuk jantung pisang yang tersembul dengan indahnya. Sangkala (angka tahun) mesjid itu ialah: Mungal mangil mungup singgih. Atap mesjid itu telah dibangun kembali dengan indahnya, sebagai tanda atas jasanya para leluhur, yaitu para Walisanga kepada anak cucu Carbon.

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( II )

CATATAN PENTERJEMAH MENGENAI RACUN UPAS
(Catatan kaki Naskah Mertasinga)

Tidak jelas bentuk apa yang dimaksud dengan "bruang mandi" tersebut yang kemudian dapat diusir oleh Nyi Tegal Alang-alang dan terlempar ke Gua Upas "tempat dimana racun-racun seperti itu berada". Kemungkinan racun yang dimaksud adalah "racun Upas", yang dikenal sangat ampuh pada waktu itu. Mengenai racun ini mendapat perhatian para penulis Inggris yang datang ke Indonesia pada waktu itu, baik dalam buku History of Java, Conquest of Java maupun oleh Stockdale dalam Island of Java.
Dalam bukunya, Stockdale (1811:312) menulis bahwa racun tersebut berupa getah dari pohon Upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius sekitar 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus, tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh.  Dalam radius tersebut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air, tikus ataupun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat pohon tersebut dan hawanya mencapai mereka, maka burung itu akan jatuh dan mati. Getah pohon ini  juga diambil untuk dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau melalui darah yaitu dengan dioleskan di ujung senjata.
Pengambilan getah tersebut biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka mendapat pilihan apakah memilih mati ditangan algojo ataukah mengambil getah Upas dengan kemungkinan selamat. Kebanyakan dari mereka biasanya mengambil pilihan kedua itu. Bilamana hal tersebut mereka lakukan, mereka akan dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun tersebut. Kemudian mereka diberi petunjuk antara lain untuk tidak melawan angin yang mungkin membawa bau racun tersebut. Mereka akan didandani dengan baju kulit yang menutupi dari kepala hingga ke dadanya, dengan lubang yang diberi kaca di bagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja dari mereka yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Dalam buku diatas diceriterakan juga mengenai pengalaman seorang penulis Inggris yang pada bulan Februari 1776 hadir pada waktu hukuman mati dijatuhkan terhadap 13 selir raja Mataram yang dituduh tidak setia. Diceriterakan bahwa pada siang itu kira-kira jam 11.00, mereka digiring ke lapangan terbuka di dalam halaman kraton. Di tempat tersebut hakim menjatuhkan vonisnya dimana mereka diputuskan untuk mati dengan pisau lancet yang telah diracuni getah Upas. Menurut buku tersebut kemudian mereka harus mengaku dan bersumpah bahwa tuduhan yang dijatuhkan terhadap mereka berikut hukumannya adalah adil dan jujur. Hal tersebut mereka lakukan dengan menaruh tangan kanan mereka di atas kitab Al-Quran dan tangan kiri di atas dadanya sambil menengadah ke langit. Hakim kemudian menyodorkan kitab Al-Quran untuk mereka cium. Setelah upacara ini selesai, acara dilanjutkan dengan eksekusi hukuman. Mereka dibawa ke tiga belas tonggak yang masing-masing setinggi 5 kaki dimana mereka diikat dengan dada terbuka. Doa-doa dibacakan sampai tanda mulainya eksekusi diberikan kepada algojo yang mempergunakan semacam keris yang sudah diracuni dengan racun Upas. Dengan senjata ini terhukum disayat di tengah-tengah dadanya, proses ini memakan waktu hanya dua menit. Lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan yang amat sangat, dan enam belas menit kemudian mereka semua sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah  warnanya menjadi kuning.
Nyi Tegal Pangalang-alang. Menurut beberapa sumber, Nyi Tegal Alang-alang ini adalah anak dari Pangeran Cakrabuana (uwak dari Syarif Hidayatullah) dengan Nyi Mas Kancana Larang yang dikenal dengan nama Nyi Dalem Pakungwati.

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN (I)

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN
(pupuh LXVI.20 - LXVII.09)

Seperti telah kita ketahui, Panembahan Ratu adalah seorang raja yang berwatak Aulia. Di mesjid Carbon suara orang-orang yang berzikir selalu terdengar bergemuruh siang dan malam. Waktu itu Mesjid Agung masih satu bangunan saja belum ada serambi di sekelilingnya, dan masih dibatasi tembok. Patakanya terbuat dari perunggu dan bentuknya mencuat tajam.

Kemudian di Carbon tersiar berita yang menggemparkan yaitu datangnya seorang panglima utusan dari Mataram, Gedeng Anis namanya. Setiap tiga tahun dia bertugas untuk berkeliling memeriksa raja-raja bawahan Mataram. Semua negara yang berada di bawah Mataram dikunjunginya untuk diperiksa bahwa di negara itu tidak ada gejala-gejala pemberontakan kepada Mataram. Hal itu dilakukan untuk menjaga jangan sampai adanya raja bawahan yang memberontak kepada kekuasaan Mataram. Pada waktu Ki Gedeng Anis datang memeriksa Pakungwati. Di sana dia melihat ramainya mesjid yang dikunjungi oleh orang-orang mengaji di malam hari. Memang dalam hal penyebaran agama Islam di Carbon jumlah pengikutnya semakin meningkat. Dengan demikian Carbon  bisa menjadi kutub (luhur) kembali, hal tersebut mengkhawatirkan Ki Gedeng Anis. "Jika betul Carbon sekarang mewarisi keluhuran Sinuhun Purba, baiklah aku akan mecobanya", demikian pikir Gedeng Anis. Lalu di waktu malam Ki Gedeng Anis memerintahkan untuk menaruh bruang mandi (guna-guna yang ampuh) di pataka masjid itu. "Jika benar ada yang bisa menawarkannya, aku akan mengakui ke-kutub-an Carbon dan aku akan patuh kepadanya", demikian pikir Ki Anis.

Dengan cara yang amat halus dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya, ditaruhnya guna-guna itu. Akibatnya, orang-orang Carbon yang biasa memenuhi mesjid tersebut menjadi merasa kedinginan dan sangat ketakutan. Ternyata tak ada seorangpun yang kuat menahan pengaruh guna-guna itu sehingga mereka bubar dan tak ada lagi yang mau datang ke mesjid. Sepi sudah orang-orang yang mengaji. Ki Gedeng Anis berkata, "Ternyata benar, Carbon sudah tidak mewarisi keluhuran (kutub) lagi". Selesai sudah tugasnya untuk mengamankan negara-negara jajahannya.
 
NYI TEGAL PANGALANG-ALANG MEMBANTU PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXVII.09 - LXVII.30)

Dengan telah terjadinya bencana itu, keadaan mesjid menjadi sangat memprihatinkan, karena sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk sholat. Panembahan sangat risau hatinya lalu segera pergi meminta bantuan kepada neneknya yang berada di Tegal, Nyi Pengalang-alang namanya . Sang nenek berkata, "Ya ini memang pekerjaannya orang tua". Panembahan telah mengetahui adanya guna-guna di memolo / bubungan mesjid itu.
Nyi Pengalang berkata dengan lembut, "Kataku juga apa, guna-guna itu amat saktinya, nenek minta biar aku saja nanti yang mengusirnya. Orang yang sudah tua itu nak, kalau mati itu tidak cerewet. Dan engkau nak, nanti lihatlah saja dari luar mesjid, tidak usah  ikut membantu karena nenek sendiri sanggup menghilangkan guna-guna sakti itu". Panembahan menjawab, "Baiklah nanti nenek saja yang masuk dan hamba akan berada di luar mengawasi".
Begitulah lalu Nyi Gedeng Pangalang-alang mengambil air wudhu, selesai mensucikan diri lalu dia masuk ke bangsal Mesjid Agung dan lalu bersuci sekali lagi untuk menghilangkan kotoran kotoran yang mungkin terlewat, seperti dikatakan dalam ungkapan manuk mabur datan kari lan kurungan nipun   (burung terbang tak tertinggal kurungannya) . Barulah kemudian dia masuk ke dalam mesjid. Di dalam mesjid kemudian dia menyerukan azan dengan suara melengking memekakan telinga. Suaranya bagaikan mengguncang jagat, bumi menjadi bergoyang-goyang dan kemudian terdengar ledakan diatas langit-langit. Ketika terdengar suara azan eyang Gedeng Pangalang-alang yang demikian kerasnya, guna-guna itu terlempar dari pataka mesjid dan menyembur hilang musnah, dan keadaan pun kembali seperti sedia kala. Diceritakan guna-guna sakti itu terlempar jauh dan kemudian masuk ke dalam Gua Upas, gua dimana berkumpul guna-guna lainnya . 
Adapun nenek Pangalang-alang, dengan terlemparnya guna-guna itu ke Gua Upas, dia pun hilang seperti ditelan bumi di tengah-tengah mesjid itu. Nyi Pangalang-alang itu telah hilang dari dunia ini, dia telah pindah ke dunia yang latif (maha halus). Panembahan sangat terkejut menyaksikan hilangnya sang nenek. Si nenek itu masuk jiwa dan raganya meraga-sukma sebagai halnya seorang wali. Semua orang di Pakungwati sudah mengetahui bahwa Nyi Gedeng sudah tiada. Walaupun terjadinya di Mesjid Agung, akan tetapi kuburannya bukan di situ, tempat itu hanyalah sebagai tempat menghilangnya saja.
Kekhawatiran Panembahan sudah berlalu, namun kehawatiran berikutnya adalah mengingat akan nasihat yang diberikan pada waktu jamannya Sinuhun Jati menghukum Syekh Lemabang itu. Ada suara yang mengingatkan bahwa jika telah sampai pada keturunan yang ke sembilan maka anak cucu Sinuhun Jati akan diselingi oleh budi durga (budi jahat), oleh kerbau bule bermata kucing, yang datang dari arah barat. Hal ketiga Panembahan teringat akan kata-katanya Sunan Kalijaga dahulu, bahwa sepeninggalnya Sinuhun Jati maka Mesjid Agung akan terbakar. Diceritakan kemudian bahwa Panembahan Ratu lah kelak yang akan memadamkan kebakaran itu. Hal keempat yang merisaukan Panembahan ialah apabila nanti ada lagi yang membuat keributan seperti ini, lalu siapa yang akan menolong karena si nenek sudah tiada, tidak ada lagi yang dapat diandalkan menjadi tumbal negara, demikian Panembahan berkata dalam hatinya (Bersambung).

NASKAH MERTASINGA - PEMBANGUNAN MESJID AGUNG CIREBON

SINUHUN JATI MEMBANGUN MESJID AGUNG PAKUNGWATI 
(pupuh XXII.37 - XXII.47)
Sinuhun Gunung Jati berkehendak untuk membangun Mesjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di Carbon. Uwaknya [Pangeran Cakrabuana] diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk pembangunan masjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan keinginan putranya itu. Dengan segera sudah banyak terkumpul kayu-kayu yang diperlukan. Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang ada, atap sirap sudah dipilihi, paku dan batu bata sudah terkumpul di Pakungwati.
Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Khapi, "Kakanda Datuk Khapi, tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Banisrail. Sampaikan kepada adinda Nurullah agar mengupayakan kayu Jati. Mintalah yang utama, yang panjang, untuk dijadikan sakagurunya. Hanya empat buah saja yang kubutuhkan,  satu tiang saka dari Mesir sebagai sumbangannya Babu Dampul, satu dari Banisrail sebagai sumbangannya adinda Nurullah, satu lagi dari Bagdad sebagai sumbangan dari Datuk Khapi, dan satu lagi dari Surandil sumbangan dari Syekh Benthong. Segera Datuk Khapi menulis surat tersebut dan mengirimkannya. Sementara itu yang membangun terus bekerja, sambil menunggu datangnya kiriman keempat kayu sakaguru  dari negara Arab.

PENYELESAIAN MASJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.13 - XXVIII.15)
Setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera mendirikan mesjid yang patakanya sudah didirikan. Semua wali sangat bersemangat dalam membantu pembangunan mesjid ini. Mereka telah mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya diperiksa terjadi lagi perselisihan mengenai arah Kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke selatan, lainnya mengatakan kurang ke utara dan lainnya lagi mengatakan sudah tepat arah kiblat itu. Sehingga kerangka mesjid itu diangkat dipindah-pindah berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru. Demikian berlangsung tak habis-habisnya. Sunan Kalijaga kembali memberikan penyelesaiannya seperti yang dilakukannya waktu di Demak.

SASMITA MESJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.15 - XXVIII.21)
Setelah selesai pembangunan mesjid Agung Carbon semua Wali memanjatkan puji syukur dan para Wali melakukan sholat Subuh. Setelah sholat Sunan Kalijaga membuat sasmita/isyaratnya mesjid ini : Sang gligir manik pethak, putra jagat bawur, bawuring wong timbul tatal, timbul aning ngaliwung awang nguwung, sageb ana waniya. Sarta takutana dadi sarta wani, sampurnaneng jagat sedaya, sangang ngatus ya kathahe, punjule patang puluh, kalawan lelima puniki.
Waktu itu usia Sinuhun Jati 113 tahun. Kemudian para Wali memberikan sumbangan-nya untuk mesjid ini. Sunan Bonang menyumbangkan satu tikar yang digelarkan di sebelah utara, Syekh Benthong menyumbang satu tikar yang berasal dari Medinah dan digelarkan di paimaman yang di sebelah utara, Sunan Jati menyumbang satu tikar yang berasal dari Pulau Majeti dipasang di tengah paimaman. Sunan Kalijaga menyumbang satu tikar yang digelarkan di sebelah utaranya tikar Sunan Purba. Pada waktu itu semua wali bergantian menjadi Imam shalat Jum'at di Mesjid Agung. Pangeran Makdum yang menjadi Juru komat sholat Jum'at. Pangeran Datuk Khapi, yang memegang waman ah sannun-nya (yang mengatur mesjid dalam hal jadwal, shaf, dsb), Tuan Jopak, dan Tuan Bumi. Yang melayani : Sunan Panggung, Tuan Puti, Pangeran Kajoran, bersama Pangeran Drajat. Pangeran Kajoran tanggung jawabnya memegang inalaha (hukum-hukum). Semuanya ini diatur dengan persetujuan para wali.

Catatan penterjemah:
1.      Pembangunan Mesjid Carbon menurut babad ini dibangun pada waktu Sunan Gunung Jati berusia 113 tahun, atau diperkirakan pada tahun 1561 M.
2.      Menurut sebuah catatan dalam naskah lama lain disebutkan bahwa sesuai dengan persetujuan wali, Masjid Agung Carbon diberi nama Sang Ciptarasa, momolonya diberi nama (tidak terbaca), beduknya diberi nama Sang Guru Mangi, mimbarnya diberi nama Sang Srangenge, mikrodnya diberi nama Jubled.

NASKAH YANG SUDAH DITERBITKAN

Buku terjemahan dari naskah lama yang selesai ditulis pada tahun 1889 M pada masa pemerintahan Sultan Syamsuddin II dari Kasepuhan. Naskah asli ditulis dengan tulisan Arab pegon dalam bahasa Cirebon / Sunda / Jawa Kuna. Buku alih aksara dan bahasa dilengkapi silsilah ini mengisahkan babad mengenai Sunan Gunung Jati. Kisah terlengkap mengenai SGJ yang ada. Dengan Kata Pengantar dari sultan Sepuh Kasepuhan dan Dr. Uka Tjandrasasmita. 526 halaman.

Buku terjemahan dari naskah lama mengenai ajaran2 yang diperoleh SGJ, melengkapi buku yang pertama. Bilamana buku pertama banyak berisi mengenai sejarahnya maka dalam buku ini lebih pada uraian-uraian mengenai ajaran Tasawuf, khususnya mengenai ajaran Tarekat Syatoriah dan utamanya dalam paham wahdatul wujud. Hal ini tidak mengherankan karena naskah ini merupakan bagian dari sebuah naskah lama yang berisikan pelajaran mengenai tarekat tersebut. Naskah ini selesai ditulis pada 4 April 1880 M. Dalam buku ini  dicantumkan baik alih aksaranya dari tulisan arab kedalam huruf latin, dan terjemahannya, beserta beberapa catatan kaki untuk melengkapi. 196 halaman.


Terjemahan dari naskah lama "Waosan Babad Galuh" (Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon), mengenai babad raja-raja Pajajaran dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi, hingga anak keturunannnya. Dilengkapi dengan silsilah keturunannya. 429 halaman.

DALAM PROSES PENYELESAIAN:





NASKAH MERTASINGA – FALATEHAN TUBAGUS PASE DAN RAJA-RAJA CIREBON ( II )

PERNIKAHAN CUCU SUNAN GUNUNG JATI 
(pupuh LVI.04 - LVI.13)
Dikisahkan Sinuhun Gunung Jati ingin mempertemukan cucu lelaki yang dari anak lelakinya dengan cucu perempuan dari anak perempuannya. Yang laki-laki yaitu Pangeran Carbon anaknya Pangeran Pasarean, sedangkan cucu perempuannya yaitu Ratu Wanawati anaknya Tubagus Pase. Walaupun keduanya belum dewasa akan tetapi atas permintaan Sinuhun keduanya segera dinikahkan.
Pada waktu itu yang menjadi saksi ialah Sunan Kalijaga dan Pangeran Makdum. Tubagus berkata, "Telah kuterima hukumnya Allah, aku nikahkan anakku yang bernama Ratu Wanawati yang masih gadis ini, untuk dipertemukan dengan cucu lelaki ayahanda yang bernama Pangeran Carbon. Dengan mas-kawinnya mempunyai anak yang kelak akan mati syahid". Sunan Gunung Jati segera mengabulkan pernikahan itu, "Aku sudah terima nikahnya cucu perempuan yang lahir dari anak perempuanku dengan cucu lelaki yang lahir dari anak lelakiku dengan mas kawinnya anak lelaki yang bersedia menjadi anak yatim".
Sinuhun lalu membaca doa yang diamini oleh semuanya. Yang hadir pada waktu itu ialah Raja Lahut, Ratu Winahon, serta dari Pajajaran datang sang uwak Rangga Pakuan [Pangeran Cakrabuana]. Kedua pengantin ini terlihat lucu sekali karena umurnya yang lelaki baru akan berusia lima tahun sedangkan yang perempuan baru akan berusia tiga tahun. Begitulah upacaranya diadakan di Mesjid Agung Carbon. Pada waktu itu yang menjadi imam di Mesjid Agung bergantian, Sinuhun Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Pangeran Makdum waktu itu masih menjadi Juru komat. Syekh Datuk Khapi yang azan, sedangkan yang menjadi waman ah'sanun yaitu Modin Jati, Sunan Panggung, Buyut Panjunan, Lebe Juriman dan Pangeran Janapuri, sedangkan orang yang ketujuh itu dipilih dari salah seorang santri.

PEMERINTAHAN CARBON SETELAH WAFATNYA SINUHUN GUNUNG JATI 
(pupuh LVIII.06 - LVIII.08)
Sekarang di Dalem Agung dan juga di Gunung Sembung tinggal Sunan Kalijaga sendirian yang memimpin. Tubagus Pase setiap Jumat menjadi imam dan merangkap sebagai wakil utama dari raja, sebab cucu Sinuhun, Pangeran Carbon, masih belum dewasa.  Saat itu Pangeran Carbon baru berumur enam tahun, dan yang menjadi wakil raja ialah Pangeran Makdum dan Tubagus Pase karena Sunan Kalijaga sudah tidak bersedia lagi. Di Masjid Pakungwati waktu itu yang melakukan komat ialah Syekh Datuk Khapi, karena Modin Jati sudah tidak mampu lagi. Sedangkan yang melakukan waman ah'sanun digantikan oleh Ki Syekh Badiman, dan sorog wedi-nya (pemegang kunci) masih sama seperti dahulu pada jamannya Sinuhun Jati.
[Waman ah’sanun, ungkapan bahasa Arab yang berarti “orang-orang yang terbaik”. Azan di Mesjid Agung Carbon dilakukan oleh 7 orang, waman ah’sanun ini adalah penyeru azan ke-2 hingga yang ke tujuhnya].

PANGERAN AGUNG DINOBATKAN BERGELAR PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXII.08 - LXII.13)
Kemudian dikisahkan, Sunan Kalijaga, Tubagus Pase, bersama Pangeran Agung kembali ke Kraton Pakungwati. Setelah sampai di Kraton lalu dirundingkan mengenai penobatan Raja Pakungwati. Maka kemudian Pangeran Agung dinobatkan menjadi penguasa di Carbon bergelar Panembahan Ratu.  Dengan demikian sepeninggal Sinuhun Aulia baru sekarang kekuasaan di Carbon dipegang lagi oleh cucunya Panembahan Ratu dan Tubagus Pase diangkat menjadi wakil raja.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga ingin menengok buyutnya Sinuhun Jati, yang berada di Gebang yang bernama Pangeran Prawirasuta. Dari Gebang Sunan Kalijaga pergi ke Losari untuk menengok cucu lainnya yang diangkat anak oleh Dalem Tumenggung, bernama Pangeran Wirya, yang dinobatkan dengan gelar Panembahan sebagai penguasa di Losari. Diceritakan Sunan Kalijaga dari Gebang dan Losari kembali pulang, tidak diceritakan perjalanannya wali telah tiba kembali di Pakungwati.

Catatan:
Panembahan Ratu memerintah dari tahun 1568 s/d tahun 1649, sebelumnya dari tahun 1552 s/d 1568 (setelah wafatnya Pangeran Pasarean) Kesultanan Carbon kosong dan diwakili oleh Tubagus Pase menunggu Pangeran Agung/Panembahan Ratu dewasa. Dari perkawinan Panembahan Ratu dengan Ratu Mas Pajang, anak Jaka Tingkir, Sunan Pajang, menurunkan Pangeran Dipati Carbon II/Pangeran Sedang Gayam, yang kemudian menurunkan Pangeran Girilaya yang menurunkan Pangeran Sepuh dan selanjutnya. Setelah bab diatas, naskah ini tidak lagi menceriterakan lagi mengenai Tubagus Pase, namun sumber lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon.

NASKAH MERTASINGA – FALATEHAN TUBAGUS PASE DAN RAJA-RAJA CIREBON ( I )

Nama Fatahillah atau Falatehan tidak terlepas dari sejarah kota Jakarta dan perlawanan bangsa ini melawan Portugis. Sejarah mencatat prestasinya merebut Sunda Kelapa dan menglahkan Portugis pada tahun 1527 dan memberikan nama baru Jayakarta atau kota kemenangan.
Sebelumnya nama Falatehan diidentikan dengan Sunan Gunung Jati, namun kemudian dengan diketemukannya bukti-bukti baru diakui bahwa dua nama ini adalah nama dari dua orang yang berbeda. Dalam naskah ini tidak tercantum nama Fatahillah atau Fallatehan namun dari jalannya kisah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah tokoh dalam naskah ini yang disebut Tubagus Pase. Dalam naskah ini juga tidak dikisahkan mengenai peperangan-peperangnnya melawan penjajah, namun lebih kepada kekerabatannya dengan keluarga raja-raja Demak  dan Cirebon.

KEDATANGAN TUBAGUS PASE DI CARBON 
(pupuh LIV.08 - LIV.15)
Dikisahkan ada seseorang yang datang dari seberang, yang bernama Tubagus Pase [Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh ]. Dia datang membawa bala tentara sebanyak empat puluh orang sebagai pengawalnya. Semula kedatangannya dengan maksud ingin mencoba ilmunya orang Jawa dan dia ingin tahu bagaimana pangamalan agama Islam di Carbon. Akan tetapi dengan keramatnya Sinuhun, setibanya orang seberang itu di hadapan Sinuhun Jati hilang musnah keangkuhannya. Dia datang kehadapan Sinuhun Jati dengan rendah hati dan dengan menundukan wajahnya
Dalam pertemuan ini dia melihat Ratu Ayu Dewi, yang telah menggerakan hatinya. Sinuhun mengetahui apa yang terjadi maka kemudian putrinya dipanggilnya. Semula Ratu Ayu Dewi menolak kehendak ayahandanya itu, akan tetapi setelah lama dibujuk akhirnya dia menyetujuinya. Lalu Sinuhun berkata kepada Tubagus, "He anak dari seberang, akan kuberikan anakku yang bernama Ratu Ayu Dewi, untuk menjadi istrimu dengan mas-kawinnya anak dari yang telah mati syahid itu". [Dalam bab sebelumnya telah dikisahkan mengenai Ratu Ayu Dewi sebagai janda dari Sunan Demak II – Pangeran Sabrang Lor].
Tubagus menyetujuinya dan berkata, "Ayahanda, hamba setuju nikahnya sang puteri dengan mas kawin seperti apa yang telah disebutkan yakni memperoleh anak yang ditinggal mati syahid". Dengan disaksikan oleh para Aulia, pernikahan Tubagus berlangsung sudah. Tidak diceritakan lamanya, kemudian mereka mempunyai anak perempuan yang amat cantik yang diberi nama Ratu Ayu Wanawati. Anak yang amat dikasihi oleh ayahandanya, Tubagus Pase. Bilamana Tubagus Pase pergi berlayar menengok sanak keluarganya, maka dari tanah seberang Tubagus Pase pulangnya diiringi oleh burung dari tanah Pasai, yaitu Burung Pasai, yang  konon di tanah Jawa masih serumpun dengan burung Kokok Beluk [Burung Hantu, burung Elang malam, keluarga Strigiformes].

ANAK KETURUNAN TUBAGUS PASE DARI RATU AYU WANGURAN
 (pupuh XXXV.20 - XXXV.23)
Begitulah dikisahkan anak Sinuhun Jati yang bernama Ratu Ayu Wanguran, istri almarhum Sultan Demak (II) berada kembali di Carbon dengan membawa warisan berupa Gamelan Sokati, itulah asal mulanya keberadaan gamelan tersebut di Carbon. Pada suatu ketika ada seorang pendatang dari negara Pasai yang bernama Tubagus, yang konon menurut ceritera darahnya berwarna putih. Dia kemudian diangkat mantu oleh Sinuhun dengan putrinya yang telah menjadi janda dari Sultan Demak itu. Setelah berkumpul para wali, segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan Tubagus Pasai. Dikisahkan kemudian Tubagus Pase dengan Ratu Ayu mempunyai anak lima  orang yaitu :
1.       Anak sulung, perempuan yang bernama Ratu Wanawati, yang kemudian menikah dengan saudara misannya bernama Pangeran Dipati. Kelak mempunyai anak yang bergelar Panembahan Ratu, Panembahan yang waktu mudanya bernama Pangeran Agung.
     2.      Ratu Nyawa.
     3.      Pangeran Agung.
     4.      Ratu Sewu.
     5.      Ratu Agung.

Catatan:
Tubagus Pase, atau yang kemudian dikenal sebagai Falatehan atau Fatahillah, pernikahannya dengan anak Sunan Gunung Jati, Ratu Ayu Wanguran, janda Sultan Demak (II) menjadikannya ‘ipar’ dari Sultan Demak (III) sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan  Portugis. Sebagaimana juga disebutkan dalam catatan Portugis, dia pun menjadi penguasa Carbon ketika mewakili cucunya sebelum menginjak dewasa. Keturunan dari Tubagus Pase dengan Ratu Ayu Wanguran ini lah yang menurunkan raja-raja Carbon selanjutnya. (bersambung).

NASKAH MERTASINGA - WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI

WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI
(pupuh LVI.13 - LVIII.06)

Diceritakan kemudian bahwa pada suatu hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan untuk menyendiri di tempat yang sepi. Sinuhun pergi dengan membawa serta kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah mengetahui bahwa ajalnya sudah mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan duduk bertafakur disana, di Gunung Jati yang di sebelah timur itu. Kemudian Sinuhun menulis surat dengan menggunakan daun sebagai kertasnya, surat itu ditujukan kepada anaknya di Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan Sebakingkin, itu cucumu yang bernama Kapil [nama panggilan untuk Maulana Muhammad] suruhlah dia pergi menunaikan ibadah haji, sebab dialah yang  kelak akan menjadi raja. Sepulangnya menunaikan ibadah haji, segeralah dinobatkan, karena setelah itu engkau dan demikian juga anakmu tidak akan lama memerintah. Oleh karena itu Muhammad Kapil besok yang akan menjadi raja dan yang akan mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan pada keris yang kemudian melesat terbang ke angkasa. Keris itu terbang dengan cepat, cahayanya terang bagaikan andaru (bintang jatuh) di tengah malam. Sesampainya di Banten keris itu turun di istana Banten. Semua yang ada di Dalem Puri terkejut melihatnya, mereka mengira bahwa ada bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan penuh ketakjuban Sunan Banten melihat keris yang jatuh di hadapannya itu, dia mengetahui bahwa itu adalah Keris Sangyang Naga milik ayahandanya. Segera surat itu dibacanya, yang isinya minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan Banten pun segera membuat surat balasannya. Surat balasan itu ditulis diatas kertas perak dan bertuliskan dengan tinta emas indah. Isi suratnya berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu akan hamba suruh menunaikan ibadah haji, pesan akan ananda laksanakan". Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu dibungkus dengan kesturi wulung, dan diikatkan kembali pada keris itu. Sang keris pun segera terbang lagi ke angkasa bagaikan burung, dan tidak dikisahkan perjalanannya, keris itu telah tiba kembali di Gunung Jati. Tibanya pada waktu tengah malam, Sinuhun melihat surat balasan yang ditulis dengan amat indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari kesombongan dan hati yang takabur. Seberapa lamanya kita dalam hidup ini akan berkuasa, pasti tidak akan selamanya. Lama kekuasaan keturunanku di Banten kelak tak akan lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di tanah sambil melipat tangan diatas dadanya. Dia berbaring di tanah beralaskan daun Rudamala, dan berbantalkan batu. Kepalanya berada di arah timur sedangkan kakinya di arah barat, seperti layaknya tengah melakukan shalat. Ketika tiba waktunya makan sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya genap seratus dua puluh tahun.  Sunan Kalijaga segera memberitahukan berita duka cita itu kepada seluruh sanak keluarga. Semua telah diberitahu bahwa Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung Kentaki. Sebagai pembawaan seorang Wali utama, alam dunia ikut berduka cita atas kepergiannya.

Dedaunan jatuh berguguran, hewan-hewan berbunyi saling bersahutan, air bergelora dan lautan menjerit bergemuruh bergantian dengan gempa yang bergetar dengan suara yang menakutkan. Alam dunia bagaikan akan roboh, batuan krikil bergemeletuk dan terdengar suara beraneka macam. Tanah menjadi gembur dan seluruh isi hutan riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung, bergema berkumandang di langit. Sang surya panas membara, sang bulan begitu pula. Semua yang ada di dunia bagaikan menangis. Tidak lama kemudian turun para malaikat dari langit ke atas Gunung Jati. Para malaikat itu kemudian membawa jenazah Sinuhun  naik ke langit.
Setelah tersiar berita duka cita itu, para santri dan para sanak saudara semua menangis dengan sedihnya, mereka bingung ketika mengetahui bahwa jenazah Sinuhun telah tiada. Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada yang menabuh. Para santana mantri semuanya pergi menuju ke Gunung Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati, hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk Khapi, dan Pangeran Makdum saja. Ketika mereka tiba di situ jenazahnya sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak di tanah hanyalah wangkingan (ikat pinggang) dan jubah Sinuhun saja. Begitulah Sunan Kalijaga segera menyingsingkan lengan bajunya untuk menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi datang dan minta untuk menggantikan, demikian juga halnya dengan Pangeran Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata, "Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku sendiri saja yang menguburkan pakaian itu". Akhirnya selesai sudah pakaian Sinuhun dikuburkan di sana dengan sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk kuburannya tak terlihat karena diratakan lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah bahwa tak akan ada daun yang jatuh keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase datang ke Gunung Kentaki yang di sebelah barat bersama para sentana mantri. Mereka berkumpul di tempat itu dan mereka menemukan bahwa jenazah sudah tidak ada lagi, yang masih ada di sana hanya Keris Naga dan Tasbih Sinuhun. Sang keris menggelantung di udara, merah membara bagaikan bintang jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu kemudian direka-reka menjadi berbentuk makam, di Gunung Sembung. Terkenal diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang di sebelah Barat itu, di tempat mana dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas Putri Jangkung, kemudian tinggal disana menunggui kuburan suaminya dengan penuh kasih sayang. Adapun Keris Sangyang Naga kemudian terbang melesat ke langit bagaikan bintang dan jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris Sangyang Naga itu menghilang disana.

Catatan: Mengenai waktu wafatnya Syarif Hidayatullah, ada beberapa pendapat. Dalam History of Java ditulis bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak tepat karena pada waktu perang dengan Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana Sunan Gunung Jati masih berperan. Dalam Negarakertabhumi, dan demikian juga dalam Purwaka Caruban Nagari bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tanggal 11 Kresna-paksa, bulan Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M), Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal 12 bagian terang, bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 Septem-ber 1568 M.

Sabtu, 13 Agustus 2011

NASKAH MERTASINGA - SYNOPSIS


NASKAH MERTASINGA - SYNOPSIS

Judul Buku                    :  Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
                                         (Naskah Mertasinga)
Alih aksara dan bahasa  :  Amman N. Wahju, 2005
Penerbit                         :  Penerbit PUSTAKA
                                        Jl. Penghulu Haji Hasan Mustafa No. 121, Telp 022-7210778,022-    
                                        7103616, Bandung, 40125
Tebal                              : 524 halaman.
ISBN                              : ISBN 979-3511-18-4

Naskah ini adalah alih bahasa dari sebuah babad, ditulis berupa rangkaian dari pupuh-pupuh yang berjumlah sebanyak 87 pupuh (dengan 1918 saleh / bait dan 14.478 padan/baris) ditulis dalam aksara Arab Pegon dalam bahasa Jawa Kuno dengasn dialek Cirebon dan Sunda. Naskah asli dari babad ini ini merupakan pusaka yang disimpan beberapa generasi di keluarga penyusun

Naskah ini berisi babad yang menceritakan :
1.      Sejarah Wali Sunan Gunung Jati yang dimulai dari keberangkatan anak raja
         Pajajaran ke Mesir hingga kelahiran Syarif Hidayatulluah dan perjalanan-
         perjalanannya serta anak keturunannya hingga Sultan Syamsuddin (1880).
2.      Sejarah Wali Sanga, pertemuan-pertemuannya dan beberapa ajarannya.
3.      Sejarah Kerajaan Islam Cirebon, Demak, Banten dan Kerajaan Mataram.

Naskah selesai ditulis pada tahun 1880, yang terlihat dari akhir dari penulisannya mengenai wafatnya Sultan Sepuh Syamsuddin II dari Kasepuhan.  Dalam buku ini  dicantumkan baik alih aksaranya dari tulisan arab kedalam huruf latin, dan terjemahannya, beserta beberapa catatan kaki untuk melengkapi.