Kamis, 29 September 2011

NASKAH MERTASINGA – PUTRI PAJAJARAN YANG MENUNTUT BALAS ( II )

KISAH PEMBALASAN DENDAM DEWI MANDAPA 
(pupuh XVIII.02 - XVIII.07)
Begitulah alkisah, Dewi Mandapa pergi meloloskan diri seorang diri, dengan penuh kegundahan dia bertekad untuk membalas dendam atas apa yang telah terjadi kepada kakandanya Prabu Pucuk Umun. Dewi Mandapa melakukan puasa tidak makan, tidak minum, tidak tidur dan dengan khusuknya berdoa memohon kepada Dewanya. Dia meminta agar semoga kelak, akan ada yang membalas dendamnya kepada anak cucu dari perusak negaranya, dan para pengikut Arya Lumajang. Dewi Mandapa akhirnya tiba di tempat seorang guru  ternama yaitu Ki Ajar Sukarsa, yang tinggal di Gunung Padang .
Ki Ajar Sukarsa sudah mengetahui akan apa yang dikehendaki oleh Dewi Mandapa. Berkata Ki Ajar, "Ananda Dewi Mandapa, bertapalah di bawah pohon Pinang, pohon Pinang yang dijalari pohon Sirih. Sudah dijanjikan kepadamu bahwa kelak bila ada daun sirih kering jatuh, menjatuhi pusar ananda, maka ananda ambil dan makanlah daun itu segera. Kelak nanti ananda akan dapat membalas dendam kepada  yang telah menjakiti hatimu. Walau berwindu tahun lamanya, bilamana belum ada daun kering jatuh itu, janganlah ananda pulang. Nanti setelah ananda makan daun itu, ananda akan hamil, dan kemudian akan lahir seorang bayi perempuan, berilah dia nama Dewi Tanuran Gagang. Dia akan menjadi putri yang cantik jelita bagaikan bidadari, akan tetapi anak itu tidak akan ada yang bisa mengawininya. Karena setiap kali berhubungan suami-istri maka akan berkobar api dari parjinya. Kecuali kelak ada seorang Belanda yang akan bisa menghentikannya. Dari sinilah jalannya Belanda akan bisa memerintah dan menguasai semua raja di Jawa". Mendengar pesan Ki Ajar Sukarsa itu, tekad Dewi Mandapa menjadi semakin bulat dan lalu dia pun mulai bertapa di bawah pohon Pinang selama bertahun-tahun lamanya.
 
DEWI MANDAPA BERTAPA UNTUK MELAKUKAN PEMBALASAN
(pupuh LII.12 - LII.18)
Kembali dikisahkan adik Pucuk Umun yang bernama Dewi Mandapa. Dahulu Pucuk Umun telah dikalahkan oleh Sinuhun Jati oleh karena itu sang adik kemudian melarikan diri, dan mencari jalan untuk membalas dendam. Dewi Mandapa tidak makan dan tidak minum, dia terus memohon kepada sang Jagat Nata. Permintaannya ialah agar ada yang membalas kepada yang telah merebut kerajaannya itu, "Walaupun bukan aku sendiri, biarlah kelak anak cucuku yang melakukannya. Pasti Hyang Pramethi mengetahui nasibku yang menjadi seperti ini, hutang sakit harus dibayar sakit, hutang mati harus dibayar mati, hutang menjajah harus dibalas menjajah. Janganlah nasib seperti ini terjadi lagi pada anak keturunanku selamanya. Oh Dewa, hatiku sepenuhnya memujamu".
Saat itu ada yang sedang bertapa di Gunung Padang, yang bernama Ki Ajar Sukarsa.  Rambutnya sudah putih, pakaiannya compang camping. Ki Ajar Sukarsa melihat Dewi Mandapa kemudian berkata, "Oh sukmaku, Dewa yang pengasih dan  yang tak pernah salah pengetahuannya. Kelak pada akhirnya akan ada anak cucumu yang bisa membalas dendam kepada anak cucu Sinuhun. Akan tetapi walaupun demikian, anak cucumu itu tidak akan naik tahta. Keturunanmu hanya  akan merebut kekuasaan dari keturunannya Sinuhun Purba". Setelah selesai Ki Ajar berkata demikian, Dewi Mandapa berterima kasih kepadanya dan kemudian  Ki Ajar menyuruh sang Dewi bertapa di bawah pohon Pucang (Pinang) selama setahun. Dewi Mandapa menyanggupi perintah Ki Ajar itu, dan dia segera mulai bertapa dengan khusuknya, dengan harapan agar permintaannya dipenuhi. Sang Dewi telah bertapa dengan khusuk hingga tak ada pikiran lain yang mengganggunya lagi, sudah terpusat pikiran sang Dewi Mandapa kepada dewanya.

LAHIRNYA DEWI TANURAN GAGANG 
(pupuh LV.17 - LV.22)
Berganti lagi yang diceritakan, dikisahkan bahwa Dewi Mandapa yang dahulu bertapa sesuai dengan nasihat Ki Ajar Sukarsa, telah bertapa dari setahun menjadi dua puluh lima tahun. Pada suatu hari dalam tapanya di bawah pohon Pucang, ada daun Sirih yang jatuh, menjatuhi dirinya seperti yang telah dijanjikan.  Segera dia mengambil dan memakannya. Setelah tiba waktunya maka kemudian lahir seorang bayi perempuan yang cantik rupawan dan diberi nama Dewi Tanuran Gagang. Kecantikan anak itu bagaikan bintang di malam hari. Setelah menginjak usia dewasa, kecantikan Dewi Tanuran Gagang terdengar oleh Pangeran Jaketra, yang bernama Raja Lahut itu. Dewi Tanuran Gagang lalu diambilnya untuk dijodohkan dengan anaknya yang bernama Pangeran Tlutur. Walaupun demikian sang ibu tidak menyetujui pada keinginan Raja Lahut itu. Dia tidak menghendaki hal itu karena apa yang dimintanya telah dekat, permintaannya akan segera dikabulkan oleh Dewata. Waktu itu Pangeran Jaketra sering berkunjung ke Carbon bersama putra Sinuhun yang dari Banten yang bernama Pangeran Sebakingkin. (Bersambung).

Kamis, 22 September 2011

NASKAH MERTASINGA – PUTRI PAJAJARAN YANG MENUNTUT BALAS ( I )

PUCUK UMUN MASUK AGAMA ISLAM
(pupuh XVII.10 - XVII.24)
Syekh Maulana oleh orang Parahiyangan dipanggil dengan nama Gusti Prabu Kantara Etang, orang Sunda memanggilnya Kanjeng Kantara Ening dan orang Pajajaran memanggilnya lain lagi yaitu Prabu Gelereng Erang. Pada suatu hari sang Prabu Gelereng Erang berkeinginan untuk mengunjungi saudaranya yaitu Pucuk Umun. Keinginannya adalah agar Pucuk Umun mau masuk agama Islam. Syekh Maulana pergi dengan diikuti oleh uwaknya Arya Lumajang dan tak tertinggal Raja Lahut. Setibanya di tempat yang dituju, orang Buaran segera mengetahui bahwa ada Wali yang datang, rakyat gempar dan mereka segera mempersiapkan barisan penjaga.
Akan tetapi bagi Prabu Gelereng Erang, beliau tak perlu menyerang atau melalui penjaga. Tanpa ada yang mengetahui rombongannya sudah berada di Pasowan Jaba, dimana Prabu Gelereng Erang kemudian ditemui oleh Patih Pajajaran yang bernama Patih Montas. Duduk di Pasowan Jaba, Prabu Gelereng Erang lalu bersabda, "Manakah rajamu Patih, sampaikanlah kepadanya bahwa aku ingin berjumpa dengan junjunganmu untuk berunding. Patih, katakanlah bahwa perselisihan itu tidak baik. Lain dengan orang yang mau berdamai, kelak di dunia dan akherat dia akan memperoleh karunia Yang Mulia. Sebagai saudara aku datang kemari dengan maksud baik".
Ki Patih bergegas masuk ke dalam keraton untuk menyampaikan kedatangan tamu-tamu tersebut kepada rajanya. Setibanya di hadapan sang Prabu Pucuk Umun, Ki Patih ditegurnya, "He Patih, ada apakah gerangan engkau tergopoh-gopoh seperti itu masuk kedalam istana". Ki Patih sambil menyembah memberitahukan kepada Pucuk Umun bahwa di Pasowan Jaba ada Waliyullah yang datang ingin berjumpa dengan  sang Prabu, "Paduka tuan ditunggu di luar. Katanya mereka tidak ingin bermusuhan dan mereka datang hanya hendak berunding. Rombongannya banyak sekali, diantaranya ada ayahanda tuan Arya Lumajang dan juga Raja Lahut, mereka datang bersama-sama dengan Wali".
Pucuk Umun kemudian bersabda, "He Patih, keluarlah cepat dan katakan bahwa aku Pucuk Umun sudah merad, hilang lenyap. Katakanlah demikian kepada mereka Patih". Setelah berkata demikian Prabu Pucuk Umun segera pergi dari pintu belakang bersama adiknya Dewi Mandapa. Mereka bermaksud akan melarikan diri ke tempat yang jauh. Begitulah Patih Montas bergegas kembali menjumpai wali dan berkata, "Tuan hamba Pucuk Umun sudah hilang merad, sama seperti kakeknya dahulu. Hamba, tak dapat menemuinya lagi. Sekarang terserah kehendak tuan siapa yang akan menggantikannya disini". Mendengar perkataan Patih demikian, kemudian berkata sang Prabu Gelereng Erang, "He Patih Montas, untuk apa engkau berbohong kepadaku, bukankah engkau sudah berniat untuk masuk agama Islam. Patih, aku datang kemari untuk menunjukan jalan kepada rajamu. Ini Patih lihatlah di jempol kakiku, lihatlah ada apa".
Lalu Patih melihat ke jempol kaki sang wali, dan betapa terkejutnya sang Patih karena disitu dilihatnya Prabu Pucuk Umun tengah tergelantung, terjepit tidak berdaya. Melihat demikian segera sang Patih bersujud dan bertaubat kepada Syekh Maulana, dan Prabu Pucuk Umun pun segera dilepaskan. Mereka kemudian duduk bersama-sama dengan wali sambil belajar mengucapkan dua kalimat Syahadat.  Pucuk Umun sudah menerimanya, demikian juga seluruh bala tentaranya sudah masuk agama Islam.
Itulah akhir dari agama Budha di Pajajaran,
Prabu Gelereng Erang tinggal beberapa lama di Pajajaran dan mengajarkan agama Islam kepada penduduknya. Diantaranya kemudian datang berguru kepada Prabu Gelereng Erang yaitu: Ki Dipati Guru Menak Cihaur, Timbanganten, Gunung Munara, Tumenggung Ranggasaka Wiyani, Sanghyang Wenang, Menak Ragamang, Cibalagung, Panembong, Sunda Larang, Lumajang, Sumedang, Sumur Bandung, Karanggung, dan Cianjur, mereka semua menghadap kepada Wali untuk menyatakan iman Islamnya. (Bersambung).

Minggu, 18 September 2011

NASKAH MERTASINGA: KI BAGUS RANGIN

Peristiwa pemberontakan Ki Bagus Rangin tertulis dalam “Naskah Mertasinga” walaupun hanya dalam 3 pupuh sebagaimana terlihat di bawah ini. Pemberontakan ini yang kemudian dilanjutkan oleh Ki Bagus Serit merupakan pemberontakan rakyat Cirebon terhadap penjajahan. Peristiwa pembuangan Pangeran Raja Kanoman sebagaimana ditulis di bawah ini merupakan ‘puncak gunung es’ dari pemberontakan ini karena akar permasalahannya disebabkan karena keadaan rakyat yang menderita diakibatkan oleh “kerja rodi” Belanda, “tanam paksa” Raffles dan Culturstelsel dari Van der Capellen yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan dan kelaparan besar di Cirebon yang mengobarkan pemberontakan-pemberotakan ini.
Pemerintah Inggris kewalahan menghadapi pemberontakan ini yang laskarnya bermunculan dimana-mana, sehingga hampir dapat merebut kota Cirebon. Sebagai gambaran kami kutip apa yang ditulis oleh seorang perwira Inggris, Major William Thorn, dalam bukunya “The Conquest of Java”, mengenai pemberontakan ini.

PEMBERONTAKAN  KI  BAGUS  RANGIN. 
(pupuh LXXXVI.07 - LXXXVI.10)
Waktu itu negara masih ribut karena banyak orang yang memberontak. Kali ini namanya Ki Bagus Rangin. Perlawanannya menggemparkan seisi negara, kehendak nya ialah agar sembahannya yaitu Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi raja. Sebetulnya hal ini adalah rekayasa Belanda juga, itulah sebabnya Pangeran Raja Kanoman dari pembuangan dikembalikan lagi ke Carbon dan dinobatkan dengan gelar Sultan Carbon Buhaeriddin. Akan tetapi dengan perjanjian bahwa tahtanya itu hanya berlaku selama hidupnya saja. Dengan demikian ada lagi Kacarbonan yang Sultannya dari Kanoman asalnya, adapun kaulawadyanya di bagi tiga lagi. Terjadi pada tahun Hijrah Nabi 1224  (1807 M).

PEMBERONTAKAN KI BAGUS RANGIN MENURUT “THE CONQUEST OF JAVA”
Pemberontakan Ki Bagus Rangin di Indramayu pada awal abad ke-18, merupakan salah satu pemberontakan bangsa Indonesia terhadap penindasan penjajah pada waktu itu. Pada tanggal 4 Agustus 1811, 100 buah kapal Inggris mendarat di Batavia dengan 12.000 serdadu Inggris untuk membawa misi dari English East India Company. Diantara mereka ada seorang perwira, Major William Thorn (Thorn,1993:124), yang dalam bukunya mencatat mengenai pemberontakan tersebut sebagai berikut :
"....Sementara itu perhatian pemerintahan Inggris beralih kepada pemberontakan yang patut diperhitungkan yang dilakukan oleh Bagoos Rangin. Dia telah mengumpulkan kekuatan di daerah perbukitan di Indramaju. Pemberontak yang berkekuatan besar ini banyak diantaranya adalah desertir dan pelarian dari serdadu Perancis yang melarikan diri setelah pertempuran Cornelis. Kepala pemberontakan ini selama 6 tahun telah berhasil melepaskan diri dari usaha penangkapan oleh pemerintahan Belanda, dia telah dianggap oleh pengikutnya sebagai nabi atau pendeta agung. Kefanatikan ini menyebabkan tidak goyahnya dukungan rakyat kepadanya walaupun pada waktu itu pemerintah mengiming-imingkan hadiah bagi penangkapan nya. Pada saat ini dia telah menguasai beberapa desa dan maju terus mengancam kota dan benteng Indramaju. Untuk menghadapinya, satu detasemen dari Bengal Sepoy dibawah Capt. Pool segera dikirim dari Batavia untuk memperkuat garisun yang ada. Kemudian detasemen lain yang terdiri dari orang-orang Eropah dan pribumi dibawah pimpinan Capt. Ralph dari His Mayesty's 59 Regiment menyusul, dengan perintah untuk menghancurkan arus yang sudah tidak tidak terkendali itu.
Capt. Ralph dan detasemennya akhirnya menjumpai, dengan tidak disangka-sangka, dengan para pemberontak itu d’alam jumlah yang besar. Lebih dari 2000 musqueteers (serdadu infantri) berbaris ditepi kali melepaskan tembakannya kepada pasukan Inggris, dan kemudian mereka datang mendekat sehingga pertempuran satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran ini banyak yang luka-luka dan mati hingga akhirnya pasukan pemberontak itu melarikan diri. Kerugian di fihak Inggris tidak berarti dimana seorang calon prajurit dari Resimen ke-59 terbunuh, dan Capt. Jones dari Bengal Service dan beberapa calon prajurit lainnya luka-luka. Bagoos Rangin sendiri dapat meloloskan diri. Belum selesai dengan masalah ini, kami harus meninggalkan pulau Java dan mengalihkan perhatiannya ke pulau Sumatra ....dst".
Menurut “Sejarah Indramaju”, penangkapan Bagus Rangin akhirnya berhasil dilakukan oleh Belanda dengan tipu muslihat. Utusan Belanda menemuinya dan mengatakan bahwa Gubernur Jendral telah mengangkat Bagus Rangin menjadi Demang dan kelak menjadi Tumenggung di Indramayu. Untuk merayakan pengangkatan itu Belanda menyelenggarakan pesta semalam suntuk yang ternyata kesempatan itu dipergunakan untuk menipu dan menghancurkan kekuatannya (Dasuki,1984:207).

Kamis, 15 September 2011

NASKAH MERTASINGA – PERDEBATAN DENGAN SYEKH LEMABANG ( III )

SYEKH LEMABANG DIJATUHI HUKUMAN 
(pupuh XXXIII.04 - XXXIII.26)           
Dikisahkan kemudian pada bulan Syawal, hari Senin tanggal sembilan, para Wali semua berkumpul di Mesjid Pakungwati. Para Wali melanjutkan pembicaraan mengenai hukuman yang akan dijatuhkan kepada Syekh Lemabang. Berkata Sunan Kudus kepada Ki Badiman, "He engkau Badiman, pergilah cepat kehadapan Syekh Lemabang dan persilahkan beliau datang dengan segera ke Mesjid Pakungwati". Ki Badiman menerima perintah itu dan dia pun segera hilang dari pandangan.
Tidak dikisahkan perjalanannya, Ki Badiman telah tiba di hadapan Syekh Junti, dan Ki Badiman menyampaikan pesan Sunan Kudus, "Kanjeng Tuan Syekh Lemabang, tuan dipersilahkan datang ke Grage". Akan tetapi undangan tersebut dijawab oleh Syekh Lemabang, "Disini tidak ada Syekh Lemabang, yang ada disini adalah Allah". Maka dengan tangan hampa sang utusan itupun segera mohon diri. Setibanya di Grage Ki Badiman segera menyampaikan laporannya kepada Sunan Kudus, "Palamarta Kanjeng Wali, hamba telah diutus memanggil Syekh Lemabang, namun hamba memperoleh jawaban bahwa Syekh Lemabang tidak ada dan yang ada adalah Allah".
Mendengar laporan demikian Sunan Kudus tak dapat menahan dirinya, dia
melompat bangun dan dengan amarah mencabut pedangnya hendak memotong kepala sang utusan. Syekh Magribi dengan tergopoh-gopoh memukul pedang tersebut hingga terpelanting dan Pangeran Kejaksan kemudian datang menenangkan hati Sunan Kudus. Setelah tenang hatinya berkata Syekh Magribi, "He Badiman, bilamana demikian jawabnya, pergilah kembali dan katakan kepada Syekh Lemabang bahwa yang namanya Gusti Allah itu diminta datang kemari dengan cepat, bawalah dia bersamamu".
Demikianlah Ki Badiman pergi lagi dan dikisahkan telah tiba di hadapan Syekh Lemabang. Kemudian kepada Syekh Lemabang, Ki Badiman berkata dengan penuh hormat, "Gusti Allah dipersilahkan datang ke mesjid di Grage". Kali ini mendengar undangan tersebut Syekh Lemabang menjawab, "Yang ada disini adalah Syekh Lemabang". Mendengar itu Ki Badiman pun mohon pamit lagi, dan dia menjadi sangat bingung dalam hatinya. Setibanya di Mesjid Pakungwati, lalu segera menyampaikan jawaban yang didengarnya. "Mohon ampun hamba, hamba telah gagal mengemban perintah tuan. Hamba telah menerima jawaban bahwa sekarang yang bernama Allah itu tidak ada, karena Syekh Lemabang lah yang ada".
Mendengar itu Sunan Kudus sudah tak dapat menahan amarahnya lagi, dia melempar muka Ki Badiman dengan sarungnya. Melihat demikian Sunan Kalijaga tertawa dan kemudian berkata, "Sunan Kudus, mengapa jadi begitu. Melampiaskan amarah kepada panakawan. Kelak tuan akan menerima ajal dari tangan seorang panakawan yang bernama Tanda Jupu". Mendengar hal itu Sunan Kudus tertunduk kepalanya dengan penuh penyesalan. Sunan Giri juga berkata, "Panakawan itu tahu apa".
Begitulah kemudian Sunan Bonang berkata, "He Badiman cepatlah kamu kembali lagi dan katakanlah kepadanya bahwa keduanya dipersilahkan datang". Ki Badiman pun kembali lagi ketempat Syekh Lemabang dan cepatnya ceritera dia sudah tiba di hadapan Syekh Lemabang dan berkata, "Syekh Lemabang beserta Allah keduanya dipersilahkan datang ke Mesjid Agung Grage". Akhirnya Ki Badiman berhasil dan kemudian keduanya pun pergi menuju Grage.
Dikisahkan keduanya telah tiba, dan setelah bertukar salam hormat kepada para wali yang hadir, Syekh Lemabang kemudian duduk. Kemudian Pangeran Kejaksan berkata, "Tuan seperti yang telah disampaikan sebelumnya, tuan akan menerima hukuman". Syekh Lemabang menjawab, "Silahkan hamba dihukum". Maka Syekh Lemabang pun segera diikat. Akan tetapi tali temali itu tak dapat mengikatnya dan terlepas dengan sendirinya dari tubuhnya. Pangeran Majagung kemudian berkata, "Apakah Syekh Junti ini belut, badannya licin tidak bisa diikat. Tidak begitu sifat orang yang luhur". Maka akhirnya tali temali itu dapat mengikat badannya, Syekh Lemabang dibawa keluar dan diikat di bawah pohon Tanjung. Segera Sinuhun Purba menyerahkan kerisnya yang bernama Sangyang Naga kepada Sunan Kudus yang menerimanya untuk melaksanakan hukuman itu.
Keris Sangyang Naga ditusukan ke dada Syekh Lemabang, akan tetapi bagaikan beradu dengan besi landasan, keris itu tak mampu menembus kulitnya, bahkan bagaikan beradunya besi, api memercik dari tubuhnya. Pangeran Makdum kemudian menegur, "Apakah badanmu itu batu ataukah besi ditusuk sampai keluar api. Seharusnya tidaklah demikian orang yang mengaku namanya Allah itu". Setelah dikatakan demikian, maka kerispun kemudian mampu menembus dadanya hingga tembus ke belikat kirinya. Kemudian dari tubuh Syekh Lemabang mengalir darah berwarna putih. Melihat itu Syekh Benthong menegurnya dari kejauhan, "Apakah itu cacing yang darahnya berwarna putih, tidaklah demikian orang yang mengaku dirinya Allah". Maka kemudian mengalirlah darah berwarna merah dari tubuhnya. 
Sejenak terdengar Syekh Lemabang mengerang, "Al Haq, Al Haq". Berkata Sunan Giri, "Yang begitu itu adalah orang kapir, akan tetapi kematiannya sempurna. Entah bagaimana batinnya kelak, akan tetapi telah sempurna dhohirnya". Syekh Majagung berkata, "Batinnya sudah nyata terlihat oleh orang banyak yang menyaksikan". Sinuhun Jati berkata, "Akan menjadi sempurna bilamana terlihat wafatnya". Jenazah itu tiba-tiba musnah tak terlihat bentuknya. Sinuhun Jati lalu berkata, "Apakah ini matinya syetan, bisa hilang dan timbul seperti itu, tidak begitu jenazahnya orang yang mulia". Maka jenazah itu pun tampak kembali seperti seharusnya.
Syekh Lemabang sudah meninggal dengan sempurna di hadapan para Wali. Sunan Kudus berkata, "Orang itu jelek cara meninggalnya, bukankah telah sirna hidupnya". Lalu jenazah itupun menghilang  dengan disertai oleh awan gelap yang meliputi langit dan diikuti hujan lebat. Alam jagat menjadi sangat mencekam, bumi terasa berguncang dan rumah-rumah roboh serta gunung terdengar bergemuruh. Demikian juga pepohonan besar bergoyang mengikuti guncangan gempa bumi.
Kemudian terdengar suara yang ditujukan kepada Pangeran Pasarean, "Pangeran, Raden sudah pasti akan menjadi raja yang mulia, serta tak ada yang berani kepada raja Pakungwati. Memerintahlah dengan tulus mukti serta berwibawa. Tetapi kelak di kemudian hari, anak cucumu berhati-hatilah, janganlah berbuat sewenang-wenang. Akan datang kerbau putih bermata kucing, dari ujung barat datangnya. Saat itu anak cucu kelak tidak ada yang memerintah, dan akan menderita dibawah perintah, serta menjadi jajahan dan budak dari raja yang datang dari orang kebanyakan". Setelah selesai pesan itu, keadaan pun menjadi tenang kembali. Sinuhun Jati sangat berbahagia dan mengucapkan syukur kepada Yang Maha Esa.
Sesudah demikian lalu Sunan Bonang berkata, "Kepada anakku Pangeran Pasarean, anakku seyogyanya mencamkan apa yang telah dikatakan tadi mengenai anak keturunanmu. Karena yang namanya wali itu tidak akan mengulangi kata-katanya". Yang diajak bicara menjawab, "Hamba hanya mohon berkah Kanjeng rama mudah-mudahan anak cucu kelak tidaklah demikian halnya".

Jumat, 09 September 2011

NASKAH MERTASINGA – PERDEBATAN DENGAN SYEKH LEMABANG ( II )

MUSYAWARAH WALI YANG KEDUA DI GUNUNG CARME 
(pupuh XXVII.23 - XXVIII.04)
Segera Walisanga berangkat ke Gunung Carm. Masing-masing menunjukan kekeramatannya dalam melakukan perjalanannya ini. Ada yang pergi bagaikan kilat menyilaukan, ada yang menghilang seperti Dewa Anta, ada yang bersatu dengan angin yang bertiup, dan ada yang terbang diangkasa bersama awan. Ada juga yang perginya bagaikan burung, terbang cepat seperti kilat, ada yang masuk kedalam bumi dan berjalan di dalamnya bagaikan di atas jalan, ada yang pergi dengan mengikuti aliran hawa panas, dan ada pula yang pergi dengan melompat sekali lompatan.
Hanya Sunan Jati Purba yang pergi dengan penuh kesederhanaan. Dia pergi hanya ditemani oleh tongkatnya saja, meskipun begitu para wali semua terkejut ketika melihat bahwa Sunan Jati Purba yang tadi perginya terakhir akan tetapi sampainya lebih dahulu. Para Wali semua mengucap "Subkhanallah", memanjatkan puji bahwa Sunan Jati Purba dekat dengan Yang Maha Esa, dan sudah seharusnyalah bahwa kita mengikuti penghulunya para Aulia di Pulau Jawa, penghulu wali yang sembilan.
Di Gunung Carme Walisanga melakukan musyawarah membicarakan ilmu Ma’rifat yang sejati, melanjutkan pembicaraan terdahulu di Gresik. Dalam pertemuan ini Syekh Lemabang keyakinannya masih kukuh bahwa dirinya adalah Allah, tak dapat diperingatkan lagi mengenai keyakinannya itu. Hangatnya perdebatan hingga Syekh Junti pergi meninggalkan tempat duduknya. Meskipun demikian wali semua masih memaafkannya karena sesuai dengan kesepakatan di Gresik, Syekh Lemabang diberi kesempatan tiga kali untuk merubah keyakinannya dan pertemuan ini baru yang kedua kalinya.
Para Wali kemudian pergi mengikuti Sunan Jati Purba kembali ke Carbon, yaitu membantu mendirikan Masjid Agung Carbon yang letaknya  berhadapan dengan Kraton Pakungwati. Sudah jauh perjalanan Sunan Jati, berpayungkan awan dan Sinuhun Jati mengetahui bahwasanya perjalanannya diikuti oleh pelangi. Sunan Kalijaga pulangnya menaiki Kuda lumping, bergantian bersama muridnya, Sunan Bonang perjalanannya berbaur dengan angin. Sunan Kudus pulangnya mendesing diatas air, Sunan Giri pulangnya masuk kedalam cahaya matahari, sedangkan Syekh Junti pulangnya bagaikan kilat. Syekh Maulana Magrib menaiki kerisnya, Syekh Majagung masuk kedalam tanah, Syekh Benthong berbaur dengan awan. Adapun perjalan Sinuhun Jati diiringi oleh pelangi.

MUSYAWARAH ILMU PARA WALI YANG KETIGA KALINYA 
(pupuh XXXI.17 - XXXII.05)
Begitulah dikisahkan Sinuhun Jati berada di Dalem Pakungwati, pada waktu itu agama Islam sudah berkembang dengan pesatnya. Keadaan negara aman dan sejahtera tidak ada lagi yang membuat onar. Sultan Demak (III) yang pada waktu itu masih berada di Carbon yang tidak lama kemudian mohon pamit kepada Sinuhun Jati untuk kembali ke Demak.
Dikisahkan kemudian bahwa pada hari Jum'at berikutnya semua wali melakukan shalat bersama. Sesudah selesai shalat para wali duduk di beranda  Mesjid Agung Carbon, membicarakan ilmu untuk yang ketiga  kalinya. Seperti halnya dahulu di Giri Gajah, dan kemudian juga di Gunung Carme, dimana mereka semuanya meng-ungkapkan rahasia secara terbuka.
Sunan Bonang berkata:
"Kang nama Allah iku, dede dzat kang sinembah nanging kang sinembah iku pan ora nana jatine liyane maning"
Sunuhun Jati berkata:
"Kang nama Allah iku, setuhune ingkang kagungan, wajib mokhal wenang".
Sunan Kali berkata:
"Kang nama Allah iku, sajatine kang andulu, kang dinulu, tan ana liyane maning".
Syekh Benthong berkata:
"Kang nama Allah iku dede iku, nanging ika pan dede ika".
Pangeran Kajaksan berkata:
"Kang nama Allah iku, ya iku pan dede ika, ya iku kang aran jasad, yen ta ana kang jasad, pasthine ya iku uga".
Syekh Majagung berkata:
"Kang nama Allah iku, nyatane boten wonten nanging dzat kang asma kang tunggal. Tan ana roro tetelu, dadine tunggal tan tunggal".
Sunan Giri berkata:
"Kang nama Allah iku, lara gambare ngulahaken wong, sapa weruh aran nisun,  yen ta'sun aran nana dewek, lah iku aran nisun. Nanging saiku wis pened nama nisun, jejuluk Prabu Sasamat".
Pangeran Makdum berkata:
"Kang nama Allah iku, ora arah ora enggon, nanging pasti ing nganane".
Sunan Kudus berkata:
“Kang nama Allah iku, tan ana wiwilangane, kadi ta anggen ing sare, esuk sore nang mangsa".
Maulana Magrib berkata:
"Kang nama Allah iku, inggih punika, nanging dede kang jasad, yen tan ana jasad yaktine punika".
Syekh Lemabang dengan sangat angkuh berkata:
"Mapan ya isun iki, ingkang nama Allah, ning ngendi wis nana liyan, liyane sing isun iki". (Ya aku inilah yang bernama Allah, dimana-mana tidak ada lainnya lagi kecuali aku ini).

Mendengar itu Pangeran Kejaksan berkata: "Badan anda itu kan berwujud, mustahil Allah berbentuk rupa". Syekh Lemabang menjawab dengan sengit, "Tidak, aku ini senyata-nyatanya adalah Allah. Kamu tidak membawaNya, lagi pula dimana lagi adaNya, kan tidak ada selainnya aku". Pangeran Kejaksan berkata dengan lembut, "Paduka tuan, jangan berkata demikian nanti tuan akan memperoleh hukuman".
Syekh Lemabang menjawab lagi, "Aku tidak takut dihukum, aku berani kapan saja dijatuhkannya hukuman itu. Akan tetapi aku ini senyatanya adalah Allah". Sunan Kudus berkata, "Hukuman pasti akan dijatuhkan". Dijawab oleh Syekh Lemabang, "Jangan banyak bicara, kapan saja boleh dilaksanakan", sambil pergi meninggalkan para wali dan berkata lagi, "Besok berani sekarang pun berani, sudah sepatutnya aku mempertahankan tekadku", begitulah dikisahkan (bersambung).

Jumat, 02 September 2011

NASKAH MERTASINGA – PERDEBATAN DENGAN SYEKH LEMABANG ( I )

WALISANGA MENGHADIRI WAFATNYA SUNAN AMPEL 
(pupuh XXII.48 - XXII.53)
Kita tinggalkan dahulu kisah mengenai Carbon, Sinuhun Purba diminta untuk datang ke timur karena diperoleh khabar bahwa Sunan Ampel telah wafat. Para Wali yang sembilan semuanya datang berkumpul disana untuk mengurus dan menyempurnakan jenazah Sunan Ampel, yang kemudian dimakamkan di Ampel Denta. Sesudah itu para wali berkumpul di tempatnya Sunan Giri Gajah di Gresik. Wali yang sembilan sama-sama akan membicarakan ilmunya, ilmu Walisanga yang ma’rifat. Para wali yang berkumpul yaitu: Sunan Bonang, Syekh Majagung, Sunan Jati Purba, Syekh Benthong, Sunan Kalijaga, Syekh Maulana Magribi, Syekh Lemabang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus .

PERDEBATAN PARA WALI DENGAN SYEKH LEMABANG ( I ) 
(pupuh XXII.54 - XXIII.08)
Dalam pertemuan ini kemudian Walisanga bersepakat untuk bertukar pikiran menyingkapkan rahasia, dan membicarakan hal yang sudah sama-sama diketahuinya, amingkis tedeng-megat balabare dipun sami aliman mutakaliman (menyingkapkan tabir penghalang, menguraikannya untuk sama-sama diketahui), masing-masing akan mengungkapkannya secara terbuka. Dengan kesepakatan seperti itu, satu persatu para wali itu menyampaikan pendapatnya. 
Sunan Bonang berkata :
"Kang aran Allah iku, ya Allah jatine dede dzat  kang sinembah kang disembah boten wonten sanes sipun, inggih punika tekad kula".
Syekh Majagung berkata :
"Kang aran Allah iku nyatane boten wonten anging dzat kang asih kang tunggal tan ana roro tetelu, punika tekad kula".          
Sinuhun Jati berkata :
"Kang aran Allah iku Pangeran kang darbe warna, ing warnane kang sipate kuline wajib mokhal wenang, inggih punika tekad kula".
Sunan Kalijaga berkata :
"Kang aran Allah iku tan ana sanes anging dzat kang tumunggal inggih kang tinenggalan ing siang lawan dalu, inggih punika tekad kula".
Syekh Benthong berkata :
"Kang aran Allah iku jatine inggih  punika tan liyan nanging dede punika ing sajati jati nipun inggih punika tekad kula"
Syekh Maulana Magrib berkata :
"Kang aran Allah iku inggih punika jatine nanging dede kang jasad yenta tan wonten jasad yaktine inggih puniku, punika tekad kula".
Sunan Giri berkata :
"Kang aran Allah iku lar gumbumulah wayange sapa waraha aran nanging yen ta sun arana yaiku nama nisun nanging samangko pened ana nisun kang sajati jujuluk Prabu Sasamat, inggih punika tekad kula".
Sunan Kudus berkata :
"Kang aran Allah iku punika kados anggen ing sare enjang sonten nipun ing tenggele ing bedane tan beda, inggih punika tekad kula".
Syekh Lemabang, dengan suara keras berkata :
"Iya isun kang aran Allah iki, ora nana roro telu, ing ngendi ana maning ingkang nama Allah saliyane saking ngisun". (Akulah yang bernama Allah itu, tidak ada dua tiganya dimana lagi ada yang namanya Allah selain aku).

Maulana Magrib memotong: "Ini namanya jisim, mustahil Allah itu berbentuk". Syekh Lemabang menjawab dengan membentak, "Aku tidak ingin menutup-nutupi, bukankah tadi sudah sepakat bahwa kita akan membuka diri tanpa ada yang ditutup-tutupi. Mengapa sekarang jadi begini bukankah itu namanya mementahkan kesepakatan".
Maulana Magrib berkata: "Tuan Syekh Lemabang, tuan akan mendapat hukuman kalau masih berpikir seperti itu". Syekh Lemabang dengan keras menjawab: "Aku tidak takut. Sekarang berani nanti pun aku berani, tidak akan aku bergeser dari keyakinanku. Kapan saja dijatuhkan hukuman itu kepadaku, aku tidak takut, aku ini sudah sedia untuk mati".  Syekh Benthong berkata: "Pastinya tuan ini sudah menjadi orang kafir, dan patut dimusnahkan kalau tekadnya seperti itu".
Sunan Jati berkata: "Perihal menjatuhkan hukuman kepada Syekh Junti, aku minta tuan-tuan bersabar dahulu. Karena ini baru pertama kalinya, seharusnya para wali dapat memaafkannya. Kalau nanti sampai kelak begitu terus tidak menghiraukan nasihat, dan melawan sampai tiga kali, maka baru patut untuk dihukum mati". Syekh Benthong turut menengahi dan berkata: "Betul sekali apa yang dikatakan Nata Carbon ini, karena sebelum kita membunuh kadang-kadang harus mendengarkan  kepada orang yang lupa itu dan memberinya kesempatan untuk meminta tobat. Sungguh Allah itu Maha Pemaaf, sifat-Nya Rachman dan Rochim, oleh karena itu sekarang aku minta kepada semuanya untuk melupakan dan mohon kesabarannya". Walisanga semua akhirnya sepakat dan mufakat mengenai penyelesaian masalah ini.
(bersambung).