Minggu, 27 November 2011

NASKAH KUNINGAN: KISAH KI GEDENG TRUSMI

Sebelumnya dalam naskah ini dikisahkan mengenai perjalanan spiritual sang Anom bersama gurunya Syekh Mad Kurullah, untuk melihat keadaan di dalam bumi. Kemudian sang Anom melepaskan lelah di puncak Gunung Jati yang dinamakan Jabul Muqamat, tempat bertapa lahir bathin. Jalannya tyembus ke Gunung Sembung, dan kelak tempat tersebut akan dipakai sebagai pemakaman. Dua buah gunung menjadi satu, hubungannya satu, gunung Sembung – gunung Jati.

Kisah Nyi Rara Konda anak Pangeran Cakrabuana.
Ketika sang Anom tengah duduk tafakur di Jabul Muqamat, di bawah pohon Bambu Gading, dia melihat ada seorang gadis berlalu di kaki bukit, yaitu Nyi Rara Konda, anaknya Nyi Gedeng Jati. Melihat gadis itu hati sang Anom tergetar tiada hentinya, sebagaimana halnya jejaka melihat gadis, hatinya merasa berbahagia sekali, sang Anom kemudian meraga sukma.
Rara Konda pulang dan menangis tersedu-sedu di hadapan ibundanya, dia merajuk tak bisa dibujuk lagi menginginkan rebung (anak pohon bambu) mangsa katiga. Nyi Gedeng Jati sangat masygul hatinya melihat putrinya resah seperti itu. Maka dia pun pergi mencari rebung hingga ke puncak bukit.
Ketika itu, sang Anom telah meninggalkan tempat itu, dia turun dan kembali menerobos masuk ke dalam bumi. Dia pergi ke arah barat pantai, menerobos ke arah barat ke sebelah utaranya jalan yang menuju ke bawah Gunung Surandil di negara Pasai, ke Madinah terus ke Gunung Baitul Kadas, menerobos lagi ke atas ke arah barat laut ke Pulau Majeti tempat makamnya Nabi Sulaiman. Setelah berkelana di dalam bumi, Sang Anom naik ke atas dan muncul kembali di Gunung Gundul.

Anak keturunan Pangeran Cakrabuana dari Nyi Gedeng Jati 
(pupuh XII.07 – XII.24)
Kita tinggalkan dahulu sang Anom yang sedang melakukan perjalanan, dikisahkan kembali mengenai Rara Konda. Sang ibu akhirnya memperoleh anak pohon bambu (rebung) Gading dari puncak bukit yang besarnya hanya sekepal. Kemudian rebung itu diberikan kepada putrinya. Nyi Rara Konda sangat gembira dan tidak menunggu dimasak lagi, didorong oleh keinginannya yang demikian besar dia segera menyantapnya mentah-mentah.

Nyi Rara Konda
Setelah makan rebung tersebut, konon Rara Konda menjadi hamil tanpa bersuami, dan melahirkan seorang anak laki-laki. Nyi Gedeng Jati sangat berbahagia karena memperoleh seorang cucu laki-laki. Mengenai peristiwa rebung tunggal ini, semua orang pernah mendengarnya. Anak itu lah yang kelak bernama Gedeng Trusmi , dan kelak dia akan menggugat waris  pusaka dari Wali. Permintaan itu ditolak dengan jawaban ‘ora olih sing konone’ (tidak dapat dari sana-nya), sehingga kemudian dikenal ada peribahasa ‘ora olih sing Konda’, ya dari situlah asal mulanya. Gedeng Trusmi kenyataannya bukan anak dari perkawinan, itulah yang disebut ‘yuga’, bukan anak sebenarnya, sehingga dia tidak memperoleh pusaka. Tapi itu adalah masalah duniawi, karena tak ada yang menyamai dengan derajat yang diwarisinya, yaitu kewaspadaan nya dalam hal ilmu pengetahuan.

CATATAN:
Versi yang sedikit berbeda dikisahkan dalam naskah “Carios Ki Gedeng Trusmi”, sebagai berikut:
Tersebutlah Ki Gedeng Jati yang mempunyai seorang anak gadis. Ketika gadis itu lewat ke Kedaleman, kebetulan di situ, di Gunung Jati Kulon, Sinuhun sedang duduk – duduk di bawah rindangnya awi gading (bambu gading). Ketika melihat gadis cantik itu, teteslah titisnya dan jatuh di atas rebung.
            Pada suatu hari gadis itu berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin sekali makan rebung bambu gading. Ki Gedeng Jati pun pergilah memintanya ke Kadaleman. Tidak lama kemudian gadis itu hamil dan setelah sampai waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Bungcikal. Tidak dikisahkan masa kecilnya anak itu, tetapi setelah menginjak dewasa ia datang menghadap ke Kedaleman untuk meminta warisan. Pada waktu itu yang menjadi sultan adalah Panembahan Cerbon I, karena Sinuhun Gunung Jati sudah meninggal.
            Sunan Kalijaga yang kebetulan sedang berada di situ menolak permintaan Bungcikal dengan mengatakan. “He Bungcikal sia teu boga waris sabab lain putra (He Bungcikal kamu tidak punya waris sebab bukan anak)”, dan kemudian memerintahkan membersihkan atau membuka leuweung kulon (hutan barat).  Bungcikal menebas semua pepohonan yang ada di hutan itu sehingga berubah menjadi tegalan gundul. Setelah terlihat demikian keadaannya, Bungcikal diperintahkan lagi untuk mengolahnya. Maka ditanamilah lagi tegalan yang telah gundul itu dengan pohon buah-buahan. Lama kelamaan daerah yang dahulu hutan belantara itu kini berubah menjadi dataran yang amat subur dan menjadi pemukiman baru yang diberi nama dayeuh Trusmi.

Jumat, 18 November 2011

NASKAH MERTASINGA: SUMPAH ARYA KUNINGAN ( II )

ARYA KUNINGAN GAGAL MENYERBU DERMAYU 
(pupuh XLIII.15 - XLIV.11)
Dikisahkan bahwa keinginan berperang Arya Kuningan masih terus berlanjut. Arya Kuningan masih belum puas karena kekalahannya dalam perang tanding. Dengan Arya Pandelegan dia datang lagi menghadap Sinuhun dan berkata, "Mohon maaf Gusti Sinuhun, hamba mohon izin untuk menundukkan Dermayu (Indramayu) itu. Sampai saat ini mereka belum menunjukkan tanda-tanda untuk tunduk kepada agama Rasul". Permintaan tersebut dijawab oleh Sinuhun, "Besar betul keinginanmu untuk berperang Arya Kuningan, baiklah pergilah sesuai dengan keinginanmu. Namun berhati-hatilah, janganlah engkau terlampau memperturutkan keinginan hatimu itu".
Maka Pangeran Kuningan pun sangat gembira hatinya, dan segera mohon pamit dari hadapan Sinuhun. Dia mempersiapkan pasukan beserta persenjataannya. Pangeran Kuningan dengan menunggang kuda yang bernama Sawindu, berkeliling memeriksa pasukannya. Barisan di depan membawa bendera merah bertuliskan nama Nabi yang ditulis dengan huruf emas. Pasukannya sudah berjalan jauh dan hampir tiba di Dermayu.

Dikisahkan Arya Kiban yang telah menghilang itu, masih juga berkeinginan untuk mengganggu Arya Kuningan. Begitulah Arya Kiban merubah dirinya menjadi Kidang Kencana, berdiri menghadang di tengah jalanan hingga terlihat oleh Pangeran Kuningan. Ketika tampak ada kijang berdiri di tengah jalan, maka kuda Sawindu segera lari mengejarnya hingga melampaui barisan. Dengan cepat kuda itu memburu sehingga bala tentara Arya Kuningan tertinggal di belakang dan menjadi kacau balau kehilangan pemimpinnya yang telah jauh meninggalkan mereka. Arya Kuningan dengan semangat memburu kijang itu hingga lupa daratan. Arya Kuningan berkata, "Engkau kijang, tak mungkin aku akan gagal menangkapmu, walaupun engkau masuk lubang semut sekalipun aku pasti akan menemukanmu. Karena memburu kijang itu adalah memang keahlianku".
Kijang itu berlari terus hingga akhirnya melompat kedalam sebuah sungai besar, dan kuda Sawindu pun ikut melompat ke dalam air menubruk ke tempat dimana kijang itu tadi terjun. Akan tetapi kijang itu menghilang tak tentu rimbanya. Arya Kuningan terlempar dari kudanya dan dengan susah payah dia berusaha menepi, sedangkan kudanya dengan menjerit-jerit akhirnya berhasil naik ke daratan. Kijang itu kemudian merubah dirinya menjadi banjir besar sehingga Arya Kuningan terbawa hanyut ke tengah laut. Hampir saja Arya Kuningan menemui ajalnya, sudah hampir dua hari dia terombang ambing di tengah laut. Pada waktu tengah hari, di tengah laut itu datang seorang nelayan yang sangat tinggi ilmunya. Nelayan itu kemudian mengangkat Arya Kuningan naik ke perahunya, dan kemudian membawanya kembali ke daratan.

Arya Kuningan kemudian diangkat menjadi muridnya, resi itu berkata kepadanya, "Bilamana engkau ingin lebih digjaya, ini kuberikan minyak bertuah, adapun kemampuannya ialah bilamana kau siram minyak ini pada gabah padi, dan kemudian ditebarkan di lapangan, maka gabah itu akan berubah menjadi bala-tentara yang banyak sekali". Arya Kuningan menerima pemberian resi itu yang tersimpan di dalam sebuah cupu. Selanjutnya resi itu berkata, "Juga akan kuberikan sebuah Jala yang sangat sakti, yang bernama Jala Sutra Kamandin. Gunanya ialah bilamana ada orang yang mengunggulimu, maka tebarkan Jala Sutra ini. Pasti jala ini akan dapat meringkus orang tersebut tanpa membahayakannya". Setelah Arya Kuningan menerima pemberian itu, resi itu pun kemudian menghilang dari penglihatannya, meninggalkan Arya Kuningan seorang diri.

SUMPAH ARYA KUNINGAN 
(pupuh XLV.01 - XLV.09)
Tidak lama kemudian lalu Arya Kuningan bertemu kembali dengan bala-tentaranya. Mereka semua mohon ampun karena tidak dapat menolongnya dan menyatakan lagi sumpah setianya. Arya Kuningan memaafkan para pengikutnya itu, lalu Arya Kuningan mengucapkan sumpah di depan para sentana mantri, beserta para tetua dan bala-tentaranya. Mereka semua harus ingat sumpahnya yaitu, "Jangan sampai ada anak cucuku kelak yang berburu Kijang, atau memakan dagingnya atau memakai kulitnya, termasuk tulang belulangnya. Ingatlah itu semuanya".

Setelah Pangeran Kuningan bersumpah demikian, kemudian  dari langit turun Jala Sutra Kencana dan tergantung di lengan kirinya. Kemudian terdengar suara yang memberikan peringatan kepadanya, "He Arya Kuningan, dengan Jala Pupuh Banyu itu, tak ada musuh yang akan kuat melawannya. Akan tetapi kelak jala itu akan musnah kembali", demikian terdengar suara itu. Arya Kuningan pun sudah menerima pemberian pusaka  itu. Arya Kuningan kemudian bermaksud hendak menyelesaikan tujuannya semula, yaitu menyerang Dermayu. Maka Pangeran Kuningan beserta bala tentaranya melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi barisan tersebut seperti kehilangan arah. Mereka berjalan dengan kebingungan, mereka berputar-putar dari lohor hingga magrib. Hingga malam hari mereka masih tidak tahu arah dan semuanya berjalan dengan penuh kebingungan. Kemudian salah seorang perwiranya menghadap kepadanya dan berkata, "Barangkali ini adalah pertanda bahwa jika kita lanjutkan perjalanan ini maka tuan akan menemui mara bahaya seperti yang baru terjadi itu. Demikian pendapat hamba orang yang bodoh dan bingung, mudah-mudahan Pangeran bersedia untuk pulang saja".  Arya Kuningan menjawab, "Apakah kita tidak akan malu, kita telah pamit untuk berperang, akan tetapi sekarang kita kembali pulang dengan kegagalan". Salah seorang dari lurahnya menjawab, "Permohonan hamba, lebih baik kita pulang saja dahulu, dari pada kita sekarang kebingungan di tengah hutan. Maksud tujuan tuan ke Dermayu  sekarang ini sepertinya tidak memperoleh jalan. Barangkali kita harus pulang dahulu untuk memperoleh pertolongan Sinuhun Jati". Pangeran Kuningan terdiam sambil berpikir, kemudian dia berkata, "Betul katamu, baiklah aku akan mengikuti usulmu itu". Kemudian mereka semuanya pulang kembali ke Carbon.

Sabtu, 12 November 2011

NASKAH MERTASINGA: SUMPAH ARYA KUNINGAN ( I )

Kisah dari pertempuran antara Arya Kuningan dengan Dalem Kiban dari Palimanan yang belum menganut agama Islam.

PERTEMPURAN ARYA KUNINGAN DENGAN DALEM KIBAN
(pupuh XL.07 - XLI.02)
Dalem Kiban melihat Arya Kuningan datang dengan gagah berani sambil berteriak, "Hadapi aku kalau kamu berani, jangan bertanding dengan yang lain". Mendengar itu Arya Kiban pun berteriak kepada Sinuhun Purba, "Kalau benar kamu orang yang berlebih, datanglah kesini dan hadapilah aku. Bukannya kamu Arya Sangling yang kuminta, kamu menyingkirlah segera. Suruhlah Sinuhun Jati menandingi aku, bertempur denganku dan jangan yang lainnya. Akan kucincang kesombongan orang-orang yang beragama Islam".
Arya Kuningan sangat marah mendengar tantangan Dalem Kiban itu, dia berkata seraya menudingkan telunjuknya kepada musuhnya, "Kamu tidak usah menyebut-nyebut nama tuanku Kanjeng Sinuhun, lawanlah pembersih kakinya ini dahulu sampai puas. Akulah yang akan menandingimu. Belum pantas kamu menghadapi Sinuhun Jati". Setelah berkata demikian Arya Kamuning segera melarikan kudanya dan bagaikan kilat menyambar Arya Kiban. Akan tetapi yang disambar mengelak, dan kemudian menjejakan kakinya. Dalem Kiban berubah menjadi seekor gajah, yang kemudian dengan belalainya melilit kuda Arya Kuningan sehingga tak bisa bergerak. Kemudian kuda itu dilambungkannya ke atas dan kemudian ditangkap dengan gadingnya. Kuda Arya Kuningan tergelincir, dengan tangkas penunggangnya melompat turun. Arya Kuningan tidak gentar menghadapi kesaktian lawannya itu. Lalu Arya Kuningan maju menerjang gajah tersebut hingga terpelanting jauh, sejauh peluru ditembakan, akan tetapi gajah itu bangun lagi.
Arya Kuningan kemudian menunjukan kesaktiannya, dia segera membaca ajiannya, Aji Pupuh Bayu yang bernama Aji Raga. Dengan kesaktiannya itu dia berhasil melumpuhkan sang gajah hingga lumpuh tak bisa bergerak, dan terguling lemah di tanah. Arya Kiban kemudian melompat dan mencoba untuk menangkap Arya Kuningan. Maksudnya dia ingin mengangkat Arya Kuningan dan kemudian membantingnya. Akan tetapi ternyata dia tak kuat mengangkatnya. Dalem Kiban kemudian mencabut pedangnya dan ditusukan ke dada Arya Kuningan. Akan tetapi pedang itu tak mampu menembus dadanya. Arya Kuningan berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Silahkan keluarkan semua kesaktianmu, akan kulayani". Dalem Kiban berkata, "Jangan banyak bicara karena nyawamu akan kuambil dan kulitmu akan kubuat tambur". Arya Kuningan lalu melemparkan tombaknya, hingga Dalem Kiban jatuh dan terlempar jauh. Dalem Kiban bangun lagi dan kembali menangkap Arya Kuningan. Keduanya bergumul, saling tendang saling beradu kekuatan, yang satu menjatuhkan yang lainnya, mereka saling memukul, akan tetapi keduanya sama kuatnya.

Keduanya bertarung dari pagi hingga malam. Meskipun demikian keduanya tidak merasa lelah karena keduanya sama saktinya. Tidak terhitung lagi banyaknya lembah dan jurang serta karang dan rawa-rawa yang mereka lalui dalam pergumulan ini. Binatang-binatang penghuninya semua terganggu, tidak ketinggalan yang ada di sungai-sungai. Binatang-binatang, baik di air maupun yang di darat melarikan diri sejauh - jauhnya karena ketakutan akan akibat pertempuran kedua orang ini.
Dari langit bangsa Jin banyak yang turun menonton, bangsa Bunendra, bangsa Jar datang berduyun-duyun melihat, juga bangsa Jabal Kap dan bangsa Darujatbana, Raja Tajera juga datang menonton kedua orang yang tengah bertempur ini. Bangsa Banis dan bangsa Darudarja, semua bangsa Jin datang menyaksikan. Pertempuran berlangsung dengan sangat serunya, keduanya saling mendesak dan saling mendorong hingga ke Gunung Maja dan menghantam lereng gunung itu hingga keduanya jatuh terjungkal dan mengeluarkan api. Semua Jin yang menonton di langit gempar membicarakannya.
Melihat itu salah seorang raja Jin, Sultan Baduran, berkata, "He kalian manusia yang tak bosan-bosannya berkelahi, menyingkirlah kalian dari sini. Jangan berkelahi disini dan merusak surganya para Jin". Begitulah seruan itu terdengar oleh yang tengah bertempur. Mereka pun melanjutkan pergumulannya ke lembah, dimana  keduanya jatuh terjembab masuk ke dalam danau sehingga airnya menjadi panas bergolak, dan mengakibatkan banyak ikan mati. Maka keluar Raja Ikan mencari penyebabnya, dan kemudian menegur keduanya, "He kalian berdua yang tengah bertempur, sebaiknya menyingkirlah dari sini, sadarlah kalian dan kasihanilah rakyatku". Mendengar itu, keduanya lalu keluar dari air. Pangeran Kuningan dan Dalem Kiban keduanya merasa bahwa badannya menjadi lebih segar setelah masuk kedalam air.
Kemudian Pangeran Kuningan mohon kepada Yang Maha Esa agar supaya diberikan kemenangan dalam pertempuran ini, akan tetapi rupanya doanya itu tidak dikabulkan karena alam tiba-tiba menjadi gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya sehingga tanah berubah menjadi lumpur. Sementara itu Dalem Kiban pun berdoa mohon diberi kemenangan dalam pertempuran ini, yang rupanya dikabulkan doanya. Kekuatannya menjadi berlipat ganda sehingga musuhnya menjadi kewalahan menghadapinya.

SUMPAH ARYA KUNINGAN 
(pupuh XLI.02 - XLI.06)
Seperti sudah sengaja disiapkan sebelumnya, di tanah yang penuh lumpur itu ada tumbuhan menjalar yaitu pohon Oyong , dengan akar dan batang menjalar sangat lebatnya. Dikisahkan, kaki Pangeran Kuningan terjerat batang pohon yang menjalar itu sehingga dia jatuh terjembab. Pangeran Kuningan jatuh dan terbenam dalam lumpur, tak bisa bergerak bagaikan tertindih oleh gunung. Peristiwa ini terjadi pada waktu dhuhur, hari Saptu tanggal 25 bulan Syura. Itu adalah juga waktu yang naas bagi Nabi Muhammad S.A.W. ketika dahulu berperang di Gunung Uhud.
Melihat itu Dalem Kiban gembira dan mengejek musuhnya, "Berdirilah kamu sekarang, jika benar bisa menandingi aku. Walaupun meronta-ronta seperti apa pun kamu tak kan bisa membebaskan dirimu". Mendengar itu Pangeran Kuningan bagaikan diiris kupingnya, dia sangatlah marahnya. Akan tetapi dia tak bisa bergerak karena kakinya terbelit  sangat kuatnya bagaikan diikat oleh rantai besar. Pangeran Kuningan yang tampak hanyalah dari kepala hingga ke dadanya saja, selebihnya terbenam dalam lumpur. Ketika itu keluarlah sumpah Arya Kuningan kepada keturunannya : "Dengan kepastian janji Allah, jangan ada anak keturunanku yang seperti diriku menderita karena pohon Oyong. Kepada anak cucuku janganlah ada yang menanam ataupun menyantapnya".

Minggu, 06 November 2011

NASKAH MERTASINGA: PERJALANAN SPIRITUAL SYARIF HIDAYATULLAH ( I )

(Dalam pupuh-pupuh sebelumnya dikisahkan bahwa ketilka menginjak usia remaja, pemuda Syarif Hidayatullah ditinggal oleh ayahandanya, dan dia pun dipersiapkan untuk menjadi raja Banisrail. Namun pada suatu hari di Gedung Agung dia menemukan sebuah kitab yang ditulis dengan tinta emas, sebuah kitab yang bernama “Kitab Usul Kalam”. Kitab ini memperinci hakekat Nabi Muhammad dan menjelaskan mengenai Allah Yang Maha Suci. Setelah membaca buku ini Syarif Hidayatullah menjadi risau hatinya, timbul keinginannya untuk bertemu dengan Rasulallah. Maka dia pun segera menjumpai ibundanya untuk mohon izin akan pergi mencari Nabi Muhammad S.A.W.
Tidak seorangpun yang dapat menahan keinginannya, akhirnya pemuda Syarif melakukan perjalanannya untuk mencari Rasulallah. Setelah melalui berbagai rintangan dan pertemuannya dengan naga guwing, mengunjungi makam Nabi Sulaiman di pulau Majeti dan kemudian berjumpa dan diberi wejangan oleh Nabi Khidir.
Setelah selesai memberikan wejangannya, kemudian Nabi Khidir cepat menaiki kudanya, dan bersiap hendak mencambuk kudanya untuk meninggalkan pemuda Syarif. Akan tetapi tanpa bisa dicegah pemuda Syarif melompat di belakangnya dan minta untuk diajak pergi. Kuda Sembrani itu lalu terbang cepat bagaikan kilat, tenggelam dalam ketidak tahuan arah, utara-barat-timur ataupun selatan, alam menjadi gelap gulita hingga akhirnya  memasuki sebuah tempat yang terang benderang. Mereka tiba di Gunung Mirah Wulung, dari mana terlihat Surga Agung).

SYARIF HIDAYATULLAH BERTEMU DENGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. 
(pupuh V.13 - V.22)
            Setelah pemuda Syarif turun dari Kuda Sembrani itu, Nabi Khidir berkata, "Engkau tunggulah disini dengan sabar, nanti akan ada yang datang kepadamu, nanti akan kau lihat sendiri". Setelah berkata demikian lalu Nabi Khidir menghilang tak terlihat lagi. Begitulah pemuda Syarif ditinggal termanggu-manggu seorang diri menunggu kedatangnya seorang yang agung. Tak terdengar kedatangannya, seekor burung putih keluar dari puncak gunung mendatangi pemuda Syarif dan kemudian membawanya naik ke puncak gunung itu. Pemuda Syarif dibawa ke Mesjid Kumala. Tanpa diketahui kedatangannya kemudian terlihat Rasulallah, cahayanya menyilaukan memancar menerangi alam sekitarnya. Syarif Hidayat lalu menghambur untuk bersujud di hadapan Nabi, akan tetapi bahunya segera diangkat oleh Rasul dan sabdanya, "Nanti kamu kafir kalau kamu menyembah kepada sesama manusia, sebab sejak awalnya sujud itu hanya kepada Allah". Pemuda Syarif kemudian berkata, "Hamba mohon syafaat, baiyat kepada sejatinya, semoga selamat dunia sampai akhirat". Rasul berkata:

"He wong anom, iku sira pinangka dadi gegentine raganing wong. Den eling sira mangko, ing sasamining agesang. Urip iku ora beda, ora kena ya ing lampus sukmanira anom iku Allah. Aja sengge dingin kari, anging tunggal tan kalinya, iku sira ing anane. Ciptanen roro ning tunggal. Nanging dhohir kudu nganggoa ing warana iku besuk, ngramehaken ingkang praja. Nuduhaken kaula gusti, poma-poma den sangkriba iku ing wicarane. Nyampurnakaken ing amal, syareat ingkang utama, ngabekti ing bapa ibu, ngunjunga ing Ka'batullah. Ulatana guru kang mursyid, aja ngilangaken adat dunya".

(Hai anak muda, yang akan menjadi pengganti diriku. Ingatlah kamu selalu kepada sesama hidup. Karena hidup itu tidak berbeda, tidak bisa dibunuh karena sukmanya itu Allah. Jangan sampai nanti terlambat, hanya ada satu tak ada duanya, yaitu itulah engkau adanya. Namun lahir harus memakai tirai, untuk meramaikan negara. Berikan petunjuk kepada hamba Allah, berhati-hatilah dalam tutur kata. Sempurnakan amal syareat yang utama, dengan berbakti pada ayah bunda, dan kunjungilah Ka'bah Allah. Carilah guru yang saleh dan janganlah meninggalkan adat dunia, hanya itulah nasihatku). Maka selesai sudah baiyatnya Rasulallah. Syarif Hidayat pun bersyukur karena tercapai sudah keinginannya yang satu, yaitu berjumpa dengan Nabi Muhammad S.A.W.