Sabtu, 18 Februari 2012

NASKAH KUNINGAN - WEJANGAN KEPADA ANAK RAJA PAJAJARAN (1 DARI 5)

NASKAH KUNINGAN:
WEJANGAN PANDITA IDHOPI KEPADA ANAK RAJA PAJAJARAN  – (1 dari 5).  
PUPUH V.17 – VI.17
           
PENGANTAR
Kisah ini menceriterakan mengenai perjalanan tiga anak raja Pajajaran yang tengah mencari ilmu kesejatian. Ketiganya adalah Pangeran Cakrabuana, Putri Sari Kabunan atau Syarifah Mudaim yang kelak menjadi ibunda Syarif Hidayatullah, dan Pangeran Sangara. Dari Pajajaran mereka pergi ke Cirebon dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pasai dimana mereka berguru kepada Maulana Idhopi di  Gunung Surandil.
Sebagai seorang yang taat ibadahnya, Sari Kabunan dengan penuh hormat  mohon petunjuk kepada gurunya: “Sebagai umat Islam, hamba ingin mengetahui  bagaimanakah langkah yang harus hamba jalankan dalam agama Islam itu. Hamba mohon wejangannya mengenai Kesempurnaan Ilmu yang Sejati.”  Pendita Idhopi berkata : 

VI. PUPUH SINOM
01.       Pandita Idhopi nabda,
kaweruhana nini,
kasampurnaning wong Islam,
sapuluh perkara nini,
adheping lampah iki,
dipun waspada ing kaweruh,
apaalullah taala,
kang minuhi jati iki,
puniki tanana sing kaliwat.

02.       Dadi tandane ning Yang,
ana ing jagat puniki,
ing sakatahing sawara,
iku anuduhaken maring,
Kalamullah mibuhi,
lir pangucap lan pangrungu,
muwah sa lir paningal, 
sa lir kreteging ati,
iku nini sakabeh kawibuhan.

(Ketahuilah anakku, kesempurnaan orang Islam itu ada sepuluh perkara. Arahkan perhatianmu pada kesepuluh langkah-langkah ini. Cermati pengetahuanmu mengenai  apaalullah ta’ala (perbuatan Allah ta’ala), yang memenuhi jati ini, jangan ada yang terlampaui. Jadi tandanya bahwa Dia ada di alam jagat ini ialah Dia berada di dalam banyaknya suara-suara. Itu menunjukan kebesaran Kalamullah (firman Allah). Seperti suara, dan pendengaran, penglihatan dan getaran hati, itu semua anakku, adalah tanda kebesaranNya) .

03.       Lan kapindo nini weruha,
kang basa lungguhing pati,
lamun mati ora pejah,
masih urip kadi uwine,
mapan ingkana manggih,
ing sa pandum-andum mipun,
kadi uripe saban,
kuciwa jasmani latip,
tan kenang pati langgeng tan kenang rusak.

04.       Uripira duk aneng arwah,
tunggal uripira iki,
lan uripira ing benjang,
ya uripira kang iki,
orana lian urip,
amung urip siji iku,
terusana ing sipat,
dingin urip mangko urip,
besuk urip uripira kang sawakca.

 (Hal kedua anakku, ketahuilah mengenai ‘keberadaan kematian’ (lungguhing pati). Ketika seseorang mati maka sebenarnya dia tidak mati, akan tetapi dia masih tetap hidup seperti ibaratnya umbi. Nanti di sana dia akan menemui kehidupan sesuai dengan bawaan nasibnya. Seperti halnya seseorang yang tengah dalam sebuah perjalanan yang belum selesai. Jasmani yang maha halus tidak mengenal kematian, dia abadi dan tidak dapat rusak . Hidupmu itu ada dalam arwah, hidupmu ini tungggal, dan hidupmu esok itu adalah hidupmu yang sekarang ini. Tidak ada kehidupan yang lain kecuali hidup yang satu itu. Sudah menjadi sifatnya, bahwa bila sekarang hidup, nanti juga hidup, dan kelak adalah hidupmu yang nyata).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar