(Dalam bab sebelumnya dikisahkan mengenai Panembahan Girilaya yang wafat dengan meninggalkan kedua putranya yang masih berada di Mataram).
SULTAN BANTEN MENGAMBIL ANAK PANEMBAHAN DARI MATARAM
(pupuh LXXVII.09 - LXXVII.17)
Pada waktu itu di Mataram terjadi keributan karena terjadinya pemberontakan oleh Trunajaya, yang ingin menjatuhkan kekuasaan Mataram. Adapun anak Carbon itu pun kemudian keduanya terbuang. Hal mana terjadi karena kepanikan terjadi di mana-mana. Keadaan pada waktu itu bagaikan gabah yang tengah ditampi. Kedua anak itu terbuang ke Kediri sampai berbelas tahun lamanya .
Selama bertahun-tahun keadaan di Carbon kelam, dan tidak ada yang menggantikan menjadi Panembahan. Panembahan Girilaya wafat pada babad jaman 1584 (1658 M.). Selama 16 tahun lamanya tidak ada yang ingat kepada kedua anak Panembahan itu, hingga kemudian pada suatu ketika Sultan Banten teringat kepada anaknya Mas Carbon yang terbuang di negara Mataram itu.
Sultan Banten segera mengirim utusan untuk menjemput anaknya Mas Carbon yang hilang di daerah timur itu. Sang utusan, Tubagus, yang diperintahkan menjemput kedua anak itu, diperintahkan untuk minta maaf kepada raja Mataram. Diceritakan utusan itu telah tiba di hadapan Sunan Mataram. Tubagus berkata kepada Sinuhun, "Hamba diutus oleh tuan hamba Sultan Banten, yang mohon kerelaan Paduka Raja untuk memaafkan kedua anak Carbon. Keduanya akan hamba bawa ke Banten. Tuan hamba amat sangat memohon kedua anak itu". Sunan Mataram terkesan mendengar tutur kata utusan dari Banten itu, maka Sunan Mataram pun menjawab, "Silahkan, carilah sendiri". Utusan itu pun segera mencari ke segala pelosok hingga akhirnya kedua anak itu ditemukan di Kediri, dimana keduanya berada selama berbelas tahun. Keduanya segera dibawa ke Banten. Melihat kedua anak itu Sultan Banten amat senang hatinya, dia bersyukur telah diizinkan oleh Yang Maha Esa untuk bertemu lagi dengan kedua anak yang dikasihinya itu.
BERDIRINYA KESULTANAN KASEPUHAN DAN KANOMAN
(pupuh LXXVII.17 - LXXVIII.22)
Begitulah Sultan Banten kemudian bermaksud untuk bermusyawarah dengan sahabatnya yang bernama Morgel Jaketra itu. Dia ingin mengangkat kedua anak itu menjadi raja di negeri Pakungwati. Sang Morgel menyetujui gagasan tersebut. Dahulu Sultan Banten berani mengangkat dirinya menjadi Sultan karena telah mendapat ijin dari Sultan Mekah Khairal Mulia, dan juga mendapat ijin dari Mesir serta memperoleh pusaka pakaian Nabi Ibrahim. Oleh karena itulah maka Banten pun sekarang berani untuk mengangkat raja. Begitulah kedua anak itu dinobatkan menjadi raja Pakungwati dan lalu diijinkan kembali ke Carbon. Kepulangannya diiringi oleh tiga orang Belanda dari Betawi yang bernama Kapten Karang, Raja Timah dan Raja Godi. Mereka diperintahkan untuk menjaga kedua Sultan itu dari gangguan Mataram.
Setibanya di Carbon, keduanya disambut dan dimuliakan rakyat dan kemudian diangkat menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Di Pakungwati, mulai adanya Sultan itu ialah pada babad jaman 1600 (1678 M.). Saat itulah mulai adanya orang Belanda di Carbon yang bernama Kapten Karang yang tugasnya menjaga keberadaan raja. Sejak itu di Carbon mulai berdiri dua negara yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Sultan Anom, kratonnya baru yaitu Kraton Kanoman, didirikan sendiri agar supaya dapat diwariskan kepada anak cucunya kelak. Jadi di Carbon pada waktu itu ada dua Kraton di dalam satu daerah. Akan tetapi walaupun ada dua penguasa, tetap mempunyai satu hukum. Pada waktu itu mulai dikenal ada hukum sareat dan Jum'atnya pun juga sareat. Di Masjid Pakungwati hanya ada satu Penghulu yang tinggal di Kasepuhan, karena raja utamanya berada di Pakungwati. Adapun di Kanoman penghulunya bernama Khotib Kapil yang bertugas pada waktu sholat Jumat atau pada waktu Riyadi (Hari Raya Ied). Begitu juga gamelan Sokati dibunyikan setiap Mulud dan Riyaya, sehingga sepertinya ada dua, tetapi sebetulnya hanya satu yaitu yang ada di Pakungwati .
KEHADIRAN ORANG ASING DI CIREBON
Di Kasepuhan ada pendatang baru yang bernama Arya Nadin, dia datang mengabdi ke Pakungwati yang berasal dari negara Palekat. Pada waktu itu para bangsawan di Carbon belum ada yang bisa berbahasa Melayu, oleh karena itu Ki Arya Nadin diberi kedudukan dengan nama Tumenggung Arya Celi. Itulah awalnya bagaimana di negeri Pakungwati ada yang berpangkat Tumenggung. Tugasnya ialah sebagai penghubung dengan Belanda, yaitu dengan Kapten Karang, Raja Goda, Raja Timah dan Petor Wilis. Keempat Belanda itu semuanya sudah merasa betah tinggal di negara Pakungwati. Saat itu pula mulai dihancurkannya kutha Carbon yaitu ketika mulai dibangun benteng di pinggir pantai. Dengan demikian hilang pula tembok pusaka dan diganti dengan munculnya benteng Belanda yang menjaga Sultan Carbon .
Pada waktu itu mulai bercampur berbagai bangsa. Di Carbon sudah mulai banyak orang Belanda dan orang Cina. Oleh Sultan mereka diizinkan untuk membuat rumah di pinggir kali di sebelah barat Pabean menghadap ke Dalem Puri. Dikemudian hari di Pacinan mereka mendirikan Klenteng, dan juga di dekat syahbandar banyak tinggal orang Cina. Dengan banyaknya macam-macam bangsa itu, Kapten Karang lalu mengangkat Kapten Cina di negeri Pakungwati yang bernama Kapten Burwa. Dia bertugas menjaga Sultan dari segala kemungkinan kerusuhan. Itulah asal mula malang melintangnya orang Belanda di Carbon. Sekarang di Carbon diberlakukan pajak pasar, bea dan cukai. Orang bersawah harus membayar pajak setiap tahun, hanya saja ketika itu belum ada pajak manusia, kecuali di daerah pegunungan yang sejak semula merupakan daerah taklukan, pada waktu itu mereka membayar upeti masih sekehendak hatinya. Seluruh rakyat amat mengasihi sang raja, bilamana tiba waktunya untuk menyerahkan upeti, maka hal tersebut mereka lakukan sesuai dengan keinginan dari hatinya sendiri.
Catatan:
1. Perang Trunajaya (1674-1679) merupakan perlawanan terhadap raja Mataram IV, Sunan Amangkurat I (1645 - 1677) dan Belanda.
2. Pangeran Kediri. Dalam pupuh XVII.02 dikisahkan bahwa anak Pangeran Trenggana (Sultan Demak-III) yang sulung bernama Panembahan Madiun. Dia menikah dengan anaknya Pangeran Sebakingkin yang bernama Ratu Mas Ayu yang kemudian diberi kekuasaan di Kediri dan kemudian disebut Pangeran Kediri. Kemungkinan keberadaan kedua anak ini di Kediri adalah karena adanya hubungan kekeluargaan ini.
3. Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-V dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 - 1682) pada tanggal 10 Maret 1651. Melihat kurun waktunya, Sultan Ageng inilah yang pada tahun 1678 mengirimkan utusan ke Mataram untuk mengambil kedua anak Panembahan Girilaya yang terlupakan di Mataram selama 16 tahun.
4. Petor, kepangkatan dalam pemerintahan Belanda yaitu wakil / asisten Residen.