CATATAN PENTERJEMAH MENGENAI RACUN UPAS
(Catatan kaki Naskah Mertasinga)
Tidak jelas bentuk apa yang dimaksud dengan "bruang mandi" tersebut yang kemudian dapat diusir oleh Nyi Tegal Alang-alang dan terlempar ke Gua Upas "tempat dimana racun-racun seperti itu berada". Kemungkinan racun yang dimaksud adalah "racun Upas", yang dikenal sangat ampuh pada waktu itu. Mengenai racun ini mendapat perhatian para penulis Inggris yang datang ke Indonesia pada waktu itu, baik dalam buku History of Java, Conquest of Java maupun oleh Stockdale dalam Island of Java.
Dalam bukunya, Stockdale (1811:312) menulis bahwa racun tersebut berupa getah dari pohon Upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius sekitar 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus, tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh. Dalam radius tersebut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air, tikus ataupun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat pohon tersebut dan hawanya mencapai mereka, maka burung itu akan jatuh dan mati. Getah pohon ini juga diambil untuk dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau melalui darah yaitu dengan dioleskan di ujung senjata.
Pengambilan getah tersebut biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka mendapat pilihan apakah memilih mati ditangan algojo ataukah mengambil getah Upas dengan kemungkinan selamat. Kebanyakan dari mereka biasanya mengambil pilihan kedua itu. Bilamana hal tersebut mereka lakukan, mereka akan dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun tersebut. Kemudian mereka diberi petunjuk antara lain untuk tidak melawan angin yang mungkin membawa bau racun tersebut. Mereka akan didandani dengan baju kulit yang menutupi dari kepala hingga ke dadanya, dengan lubang yang diberi kaca di bagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja dari mereka yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Dalam buku diatas diceriterakan juga mengenai pengalaman seorang penulis Inggris yang pada bulan Februari 1776 hadir pada waktu hukuman mati dijatuhkan terhadap 13 selir raja Mataram yang dituduh tidak setia. Diceriterakan bahwa pada siang itu kira-kira jam 11.00, mereka digiring ke lapangan terbuka di dalam halaman kraton. Di tempat tersebut hakim menjatuhkan vonisnya dimana mereka diputuskan untuk mati dengan pisau lancet yang telah diracuni getah Upas. Menurut buku tersebut kemudian mereka harus mengaku dan bersumpah bahwa tuduhan yang dijatuhkan terhadap mereka berikut hukumannya adalah adil dan jujur. Hal tersebut mereka lakukan dengan menaruh tangan kanan mereka di atas kitab Al-Quran dan tangan kiri di atas dadanya sambil menengadah ke langit. Hakim kemudian menyodorkan kitab Al-Quran untuk mereka cium. Setelah upacara ini selesai, acara dilanjutkan dengan eksekusi hukuman. Mereka dibawa ke tiga belas tonggak yang masing-masing setinggi 5 kaki dimana mereka diikat dengan dada terbuka. Doa-doa dibacakan sampai tanda mulainya eksekusi diberikan kepada algojo yang mempergunakan semacam keris yang sudah diracuni dengan racun Upas. Dengan senjata ini terhukum disayat di tengah-tengah dadanya, proses ini memakan waktu hanya dua menit. Lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan yang amat sangat, dan enam belas menit kemudian mereka semua sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah warnanya menjadi kuning.
Nyi Tegal Pangalang-alang. Menurut beberapa sumber, Nyi Tegal Alang-alang ini adalah anak dari Pangeran Cakrabuana (uwak dari Syarif Hidayatullah) dengan Nyi Mas Kancana Larang yang dikenal dengan nama Nyi Dalem Pakungwati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar